Anda barangkali termasuk orang yang sudah pernah membaca buku laris tulisan Thomas Friedman, The Lexus and the Olive Tree (2000). Setelah membacanya, kita pasti tidak henti-hentinya memuji buku itu. kita pasti merasa bahwa inilah buku yang memberikan jawaban final terhadap keruwetan ekonomi di Indonesia saat ini. Wartawan New York Times itu memang pandai menulis. Tidak heran, ia mendapatkan hadiah Pullitzer, hadiah tertinggi untuk wartawan.
Dengan gaya bahasa yang lincah, jelas, dan bening, dikatakan bahwa seluruh dunia ini akan makmur kalau semua negara di dunia ini mau saling membuka perbatasannya. Barang-barang dapat keluar dan masuk dengan bebas, begitu juga investasi. Bukan hanya itu. Perdagangan dan investasi internasional juga akan membawa perdamaian dunia. Negara-negara memilih untuk tidak berperang karena ekonomi mereka terkait satu sama lain. Dengan amat provokatif, Friedman mengatakan bahwa negara-negara di mana terdapat gerai McDonald’s tidak saling menyerang! Inilah hukum yang dinamakan Golden Arches. Logikanya memang memikat: free trade plus free market menghasilkan kemakmuran plus perdamaian.
Apa yang dipaparkan oleh Friedman adalah salah satu bentuk propaganda ekonomi kapitalis-liberal yang secara terus-menerus dijajakan oleh barat kepada seluruh dunia. Dalam kenyataannya, apa yang diungkapkan oleh Friedman sesungguhnya adalah sumber bencana bagi perekonomian suatu negara. Globalisasai tak lebih dari sekedar alat imperalisme barat atas negara lain.
Sebuah Mitos
Globalisasi yang menekankan pada privatisasi, anti intervensi negara dalam ekonomi, dan kepercayaan absolut pada mekanisme pasar ini, muncul berbarengan dengan bangkitnya paham neo-liberalisme di Amerika Serikat pada masa Presiden Ronald Reagan dan di Inggris pada masa PM Margaret Thatcher. Secara paksa agenda globalisasi ini diimplementasikan atas negara-negara berkembang lewat badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan Bank Dunia.
Di Indonesia, globalisasi dan liberalisasi diimplementasikan lewat kiprah IMF. Beberapa butir penting dari kesepakatan IMF kini sudah dilaksanakan. Subsidi pupuk dihapus, begitu juga BBM yang membuat kedua komoditas strategis itu melambung terus harganya. Tentu saja rakyat sangat menderita karenanya. Bersama dengan liberalisasi sektor migas yang dilakukan melalui UU Migas tahun 2001 yang memuat pasal penghentian peran monopoli Pertamina mulai tahun 2005 ini, penghapusan subsidi itu ternyata berujung pada masuknya perusahaan asing di dalam bisnis migas di Indonesia. Artinya, melalui tangan IMF dan para kompradornya di dalam negeri Indonesia, kapitalis global bisa masuk dengan legal dan leluasa untuk menghisap kekayaan Indonesia. Apa yang akan kita katakan bila itu bukan merupakan penjajahan atau imperialisme ekonomi?
Contoh lain dari dari makin merasuknya paham neo liberal ke tubuh ekonomi Indonesia adalah UU No 7 Tentang Sumber Daya Air (SDA) tahun 2004. UU itu dalam banyak pasal membuka peluang terjadinya privatisasi sektor air, sekaligus memungkinkan pengalihan fungsi air secara fundamental dari fungsi publik yang bersifat sosial menjadi fungsi komoditas yang bersifat komersial.
Dalam skala global, penerapan kapitalisme terbukti semakin memiskinkan negara-negara terjajah dan semakin membuat kaya negara-negara yang sudah besar. Banyak data kuantitatif yang membeberkan kenyataan buruk ini. Pada tahun 1985, negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang hanya mempunyai 26 % penduduk dunia, ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia.
Pada hakikatnya, "kebebasan" liberalisasi adalah kebebasan bagi perusahaan multinasional dan transnasional yang banyak diuntungkan dengan aturan-aturan yang longgar dan menguntungkan bisnis mereka. Sampai saat ini belum ada bukti yang berarti yang menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan memberikan sumbangan berarti bagi negara-negara berkembang. Perdagangan bebas tidak banyak membantu dalam mengurangi kelaparan, kemiskinan, dan ketidakamanan; ia justru makin menguatkan masalah-masalah yang katanya hendak dihilangkannya itu.
Masa Depan Indonesia
Menarik ketika meneliti pemikiran Chang dalam bukunya Kicking Away the Ladder – The "Real" History of Free Trade, ia melihat bahwa seluruh negara-negara maju yang saat ini ada, dulunya ketika mereka masih berkembang tidak mempraktikan perdagangan bebas.
Namun sayang, tidak semua negara berkembang menyadari hal ini, termasuk Indonesia. Indonesia lebih suka menggantungkan hidupnya pada negara donor, seperti Amerika. Kedatangan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld tanggal 6 Juni yang lalu membuktikan ketergantungan dalam bidang ekonomi, selain agenda utamanya yaitu normalisasi militer.
Karena ketergantungan pada asing dimulai dari sikap mental SDM yang ada di negeri ini, terutama pada posisi-posisi kunci baik di Pemerintahan, bisnis, maupun di kalangan intelektual. Maka upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan juga harus dimulai dari upaya mengubah sikap mental mereka yang terjajah itu.
Perubahan semacam ini pernah dicoba dimunculkan dengan nasionalisme, sebagaimana pada masa-masa awal kemerdekaan. Namun, nasionalisme ini ternyata tidak bisa bertahan lama, karena sifatnya sangat emosional. Dengan mudah dia bisa dikendalikan secara tidak langsung oleh pihak asing. Karena itu, perubahan mental terjajah menjadi mental mandiri yang paling kuat adalah dengan memberikan pemahaman yang ideologis.
Dalam bentuk yang mirip, India dan Cina telah berhasil meraih posisi seperti ini. Mereka bahkan telah berhasil menguasai teknologi nuklir dan teknologi antariksa secara mandiri, tanpa utang luar negeri! Jadi, jangan ditanya apakah mereka mampu membuat industri mobil atau swasembada pangan.
Berbicara mengenai potensi ekonomi suatu negara, berarti berbicara tentang empat sumberdaya, yaitu: SDA (Sumber Daya Alam), SDM (Sumber Daya Manusia), SDK (Sumber Daya Kapital), dan SDI (Sumber Daya Informasi); lengkap dengan distribusinya (baik menurut tempat dan waktu) serta interaksinya (yang berarti hubungan antar jenis-jenis sumberdaya) yang akan menyebabkan dinamika (perubahan) jumlah dan mutu pada masing-masing sumber daya.
Sumber Daya Alam (SDA) terdiri dari tanah, air, lahan pertanian, hutan, tambang, laut, sumber energi terbarui, dsb. Sumber Daya Manusia (SDM) meliputi penduduk dengan berbagai fungsinya dalam ekonomi, baik sebagai produsen maupun konsumen. Sumber Daya Kapital (SDK) adalah mencakup cash flow (mata uang yang konvertibel) dan sumberdaya buatan yang pembangunannya memerlukan kapital (seperti bangunan, pembangkit listrik, pabrik, sarana dan prasarana transportasi serta telekomunikasi, hingga instalasi pengolah limbah). Adapun Sumber Daya Informasi (SDI) adalah informasi yang diperlukan dalam mengurus kebutuhan masyarakat seperti data administrasi penduduk, peta, hasil riset, cetak biru industri, hingga data intelijen.
Dilihat dari potensi SDA di Indonesia, atau juga SDM yang sekarang sudah ada, mestinya negeri ini sudah mampu lepas dari ketergantungannya kepada asing.
Jadi sebenarnya, kuncinya lagi-lagi pada keberadaan SDM yang handal, karena SDM inilah yang akan mengelola sumberdaya lainnya. Kalau SDM yang handal tidak memadai, atau ada namun tidak dapat dimanfaatkan dengan optimal, maka lagi-lagi keberadaan SDA akan diperas habis-habisan oleh asing. Saat ini saja, ditaksir ada lebih dari 70.000 tenaga asing di negeri ini, tentu saja dengan standar bayaran asing yang puluhan hingga ratusan kali lipat dari tenaga lokal—meski mengerjakan pekerjaan yang sama.
Selain itu, SDM yang handal tentu harus ditopang oleh sistem ekonomi yang memadai. Sistem ekonomi yang dimaksud tentu bukan sistem ekonomi kapitalis yang menekankan pada perdagangan bebas dan privatisasi. Sistem ekonomi pro rakyat tentu saja hanya bisa didapat dari sistem yang bervisikan pengurusan, bukan pengurasan. Sistem ekonomi ilahiyah yang memiliki misi memanusiakan manusia.
Terakhir, kesiapan SDM yang memiliki mental mandiri dan percaya diri untuk berlepas dari globalisasi ekonomi, serta tersedianya perangkat aturan ekonomi yang manusiawi adalah harapan Indonesia ke depan. Tanpa keduanya, Indonesia akan senantiasa berada pada posisi inferior. Jangan sampai hal itu terjadi. Wallahu a'lam.***
Komentar dari beberapa teman-temanku.
Indonesia merupakan salah satu fenomena negeri Islam yang dipenuhi oleh penguasa yang berwatak komprador (alias antek-antek) abiss....
Baru-baru ini saja dengan bangganya penguasa Indonesia melalui CGI mempersembahkan utang baru bagi rakyatnya. padahal nyata2 utanglah yang menjadi instrumen politik Barat untuk memperdaya negeri-negeri kaum muslimin. sebagai perbandingan menarik apa yang diungkapkan oleh Direktur International Center for Applied Economics and Finance (Inter CAFÉ) IPB, Iman Sugema. Ia menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian Inter CAFÉ, ternyata jumlah utang tidak menimbulkan pertumbuhan ekonomi. Itu berarti bahwa utang yang masyarakat Indonesia warisi sejak 40 tahun yang lalu tidak menyebabkan terjadinya peningkatan kemampuan membayar kembali utang tersebut sehingga akibatnya sekarang merasa terbebani (Media Indonesia, Rabu 21 Juni 2006). Lebih lanjut , berdasarkan penelitian Inter CAFÉ, bahwa menurut data pengeluaran proyek yang dibiayai utang luar negeri pada tahun 2001 dan 2002, terlihat jelas bahwa yang memperoleh manfaat terbesar adalah pihak asing sendiri. Antara 35% sampai dengan 90% dari utang dibelanjakan untuk membiayai pengadaan barang dan jasa yang diimpor Indonesia. Selain itu, Indonesia juga harus membayar mahal konsultan asing yang under qualified. Lebih-lebih Indonesia terikat akan keharusan membeli barang dari vendor asing dengan harga 30% sampai 50% diatas harga pasar. Belum lagi Indonesia harus memperhitungkan cost korupsi yang sudah menjadi budaya negeri ini.
So. apalagi sich yang membutakan mata hati penguasa negeri ini untuk berpaling dari kapitalisme dan menuju ISlam. Ataukah hati mereka memang sudah keras. wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar