Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kumpulan Artikel. Tampilkan semua postingan

3.26.2009

Middle Hacker

Bro, Lagi ngapain ente? He . . . he . . .
Monggoh di download artikel-artikel mengenai cara-cara mengutak-atik windows kamu
(Ati-ati, resiko ditanggung penumpang. Tapi mujarab koq, ja khawatir)

Alternative Keyboard Dan Kombinasi Keyboard

Cara Mengembalikan Tool Folder Options Yang Terhidden

Cara Meng-enable Task Manager Yang Terkunci

Membuka Data Flashdisk Yang Terhidden Baca Selengkapnya......

7.10.2008

Perekonomian Indonesia, Bagaimana?

Kapan Ekonomi Kita Membaik?

Anda barangkali termasuk orang yang sudah pernah membaca buku laris tulisan Thomas Friedman, The Lexus and the Olive Tree (2000). Setelah membacanya, kita pasti tidak henti-hentinya memuji buku itu. kita pasti merasa bahwa inilah buku yang memberikan jawaban final terhadap keruwetan ekonomi di Indonesia saat ini. Wartawan New York Times itu memang pandai menulis. Tidak heran, ia mendapatkan hadiah Pullitzer, hadiah tertinggi untuk wartawan.

Dengan gaya bahasa yang lincah, jelas, dan bening, dikatakan bahwa seluruh dunia ini akan makmur kalau semua negara di dunia ini mau saling membuka perbatasannya. Barang-barang dapat keluar dan masuk dengan bebas, begitu juga investasi. Bukan hanya itu. Perdagangan dan investasi internasional juga akan membawa perdamaian dunia. Negara-negara memilih untuk tidak berperang karena ekonomi mereka terkait satu sama lain. Dengan amat provokatif, Friedman mengatakan bahwa negara-negara di mana terdapat gerai McDonald’s tidak saling menyerang! Inilah hukum yang dinamakan Golden Arches. Logikanya memang memikat: free trade plus free market menghasilkan kemakmuran plus perdamaian.
Apa yang dipaparkan oleh Friedman adalah salah satu bentuk propaganda ekonomi kapitalis-liberal yang secara terus-menerus dijajakan oleh barat kepada seluruh dunia. Dalam kenyataannya, apa yang diungkapkan oleh Friedman sesungguhnya adalah sumber bencana bagi perekonomian suatu negara. Globalisasai tak lebih dari sekedar alat imperalisme barat atas negara lain.

Sebuah Mitos

Globalisasi yang menekankan pada privatisasi, anti intervensi negara dalam ekonomi, dan kepercayaan absolut pada mekanisme pasar ini, muncul berbarengan dengan bangkitnya paham neo-liberalisme di Amerika Serikat pada masa Presiden Ronald Reagan dan di Inggris pada masa PM Margaret Thatcher. Secara paksa agenda globalisasi ini diimplementasikan atas negara-negara berkembang lewat badan-badan dunia seperti WTO, IMF dan Bank Dunia.

Di Indonesia, globalisasi dan liberalisasi diimplementasikan lewat kiprah IMF. Beberapa butir penting dari kesepakatan IMF kini sudah dilaksanakan. Subsidi pupuk dihapus, begitu juga BBM yang membuat kedua komoditas strategis itu melambung terus harganya. Tentu saja rakyat sangat menderita karenanya. Bersama dengan liberalisasi sektor migas yang dilakukan melalui UU Migas tahun 2001 yang memuat pasal penghentian peran monopoli Pertamina mulai tahun 2005 ini, penghapusan subsidi itu ternyata berujung pada masuknya perusahaan asing di dalam bisnis migas di Indonesia. Artinya, melalui tangan IMF dan para kompradornya di dalam negeri Indonesia, kapitalis global bisa masuk dengan legal dan leluasa untuk menghisap kekayaan Indonesia. Apa yang akan kita katakan bila itu bukan merupakan penjajahan atau imperialisme ekonomi?

Contoh lain dari dari makin merasuknya paham neo liberal ke tubuh ekonomi Indonesia adalah UU No 7 Tentang Sumber Daya Air (SDA) tahun 2004. UU itu dalam banyak pasal membuka peluang terjadinya privatisasi sektor air, sekaligus memungkinkan pengalihan fungsi air secara fundamental dari fungsi publik yang bersifat sosial menjadi fungsi komoditas yang bersifat komersial.

Dalam skala global, penerapan kapitalisme terbukti semakin memiskinkan negara-negara terjajah dan semakin membuat kaya negara-negara yang sudah besar. Banyak data kuantitatif yang membeberkan kenyataan buruk ini. Pada tahun 1985, negara-negara industri yang kaya (seperti AS, Inggris, Perancis, Jerman, dan Jepang) yang hanya mempunyai 26 % penduduk dunia, ternyata menguasai lebih dari 78 % produksi barang dan jasa, 81 % penggunaan energi, 70 % pupuk, dan 87 % persenjataan dunia.

Pada hakikatnya, "kebebasan" liberalisasi adalah kebebasan bagi perusahaan multinasional dan transnasional yang banyak diuntungkan dengan aturan-aturan yang longgar dan menguntungkan bisnis mereka. Sampai saat ini belum ada bukti yang berarti yang menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan memberikan sumbangan berarti bagi negara-negara berkembang. Perdagangan bebas tidak banyak membantu dalam mengurangi kelaparan, kemiskinan, dan ketidakamanan; ia justru makin menguatkan masalah-masalah yang katanya hendak dihilangkannya itu.

Masa Depan Indonesia

Menarik ketika meneliti pemikiran Chang dalam bukunya Kicking Away the Ladder – The "Real" History of Free Trade, ia melihat bahwa seluruh negara-negara maju yang saat ini ada, dulunya ketika mereka masih berkembang tidak mempraktikan perdagangan bebas.

Namun sayang, tidak semua negara berkembang menyadari hal ini, termasuk Indonesia. Indonesia lebih suka menggantungkan hidupnya pada negara donor, seperti Amerika. Kedatangan Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld tanggal 6 Juni yang lalu membuktikan ketergantungan dalam bidang ekonomi, selain agenda utamanya yaitu normalisasi militer.

Karena ketergantungan pada asing dimulai dari sikap mental SDM yang ada di negeri ini, terutama pada posisi-posisi kunci baik di Pemerintahan, bisnis, maupun di kalangan intelektual. Maka upaya untuk melepaskan diri dari ketergantungan juga harus dimulai dari upaya mengubah sikap mental mereka yang terjajah itu.
Perubahan semacam ini pernah dicoba dimunculkan dengan nasionalisme, sebagaimana pada masa-masa awal kemerdekaan. Namun, nasionalisme ini ternyata tidak bisa bertahan lama, karena sifatnya sangat emosional. Dengan mudah dia bisa dikendalikan secara tidak langsung oleh pihak asing. Karena itu, perubahan mental terjajah menjadi mental mandiri yang paling kuat adalah dengan memberikan pemahaman yang ideologis.

Dalam bentuk yang mirip, India dan Cina telah berhasil meraih posisi seperti ini. Mereka bahkan telah berhasil menguasai teknologi nuklir dan teknologi antariksa secara mandiri, tanpa utang luar negeri! Jadi, jangan ditanya apakah mereka mampu membuat industri mobil atau swasembada pangan.

Berbicara mengenai potensi ekonomi suatu negara, berarti berbicara tentang empat sumberdaya, yaitu: SDA (Sumber Daya Alam), SDM (Sumber Daya Manusia), SDK (Sumber Daya Kapital), dan SDI (Sumber Daya Informasi); lengkap dengan distribusinya (baik menurut tempat dan waktu) serta interaksinya (yang berarti hubungan antar jenis-jenis sumberdaya) yang akan menyebabkan dinamika (perubahan) jumlah dan mutu pada masing-masing sumber daya.

Sumber Daya Alam (SDA) terdiri dari tanah, air, lahan pertanian, hutan, tambang, laut, sumber energi terbarui, dsb. Sumber Daya Manusia (SDM) meliputi penduduk dengan berbagai fungsinya dalam ekonomi, baik sebagai produsen maupun konsumen. Sumber Daya Kapital (SDK) adalah mencakup cash flow (mata uang yang konvertibel) dan sumberdaya buatan yang pembangunannya memerlukan kapital (seperti bangunan, pembangkit listrik, pabrik, sarana dan prasarana transportasi serta telekomunikasi, hingga instalasi pengolah limbah). Adapun Sumber Daya Informasi (SDI) adalah informasi yang diperlukan dalam mengurus kebutuhan masyarakat seperti data administrasi penduduk, peta, hasil riset, cetak biru industri, hingga data intelijen.

Dilihat dari potensi SDA di Indonesia, atau juga SDM yang sekarang sudah ada, mestinya negeri ini sudah mampu lepas dari ketergantungannya kepada asing.
Jadi sebenarnya, kuncinya lagi-lagi pada keberadaan SDM yang handal, karena SDM inilah yang akan mengelola sumberdaya lainnya. Kalau SDM yang handal tidak memadai, atau ada namun tidak dapat dimanfaatkan dengan optimal, maka lagi-lagi keberadaan SDA akan diperas habis-habisan oleh asing. Saat ini saja, ditaksir ada lebih dari 70.000 tenaga asing di negeri ini, tentu saja dengan standar bayaran asing yang puluhan hingga ratusan kali lipat dari tenaga lokal—meski mengerjakan pekerjaan yang sama.

Selain itu, SDM yang handal tentu harus ditopang oleh sistem ekonomi yang memadai. Sistem ekonomi yang dimaksud tentu bukan sistem ekonomi kapitalis yang menekankan pada perdagangan bebas dan privatisasi. Sistem ekonomi pro rakyat tentu saja hanya bisa didapat dari sistem yang bervisikan pengurusan, bukan pengurasan. Sistem ekonomi ilahiyah yang memiliki misi memanusiakan manusia.

Terakhir, kesiapan SDM yang memiliki mental mandiri dan percaya diri untuk berlepas dari globalisasi ekonomi, serta tersedianya perangkat aturan ekonomi yang manusiawi adalah harapan Indonesia ke depan. Tanpa keduanya, Indonesia akan senantiasa berada pada posisi inferior. Jangan sampai hal itu terjadi. Wallahu a'lam.***


Komentar dari beberapa teman-temanku.

Indonesia merupakan salah satu fenomena negeri Islam yang dipenuhi oleh penguasa yang berwatak komprador (alias antek-antek) abiss....
Baru-baru ini saja dengan bangganya penguasa Indonesia melalui CGI mempersembahkan utang baru bagi rakyatnya. padahal nyata2 utanglah yang menjadi instrumen politik Barat untuk memperdaya negeri-negeri kaum muslimin. sebagai perbandingan menarik apa yang diungkapkan oleh Direktur International Center for Applied Economics and Finance (Inter CAFÉ) IPB, Iman Sugema. Ia menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian Inter CAFÉ, ternyata jumlah utang tidak menimbulkan pertumbuhan ekonomi. Itu berarti bahwa utang yang masyarakat Indonesia warisi sejak 40 tahun yang lalu tidak menyebabkan terjadinya peningkatan kemampuan membayar kembali utang tersebut sehingga akibatnya sekarang merasa terbebani (Media Indonesia, Rabu 21 Juni 2006). Lebih lanjut , berdasarkan penelitian Inter CAFÉ, bahwa menurut data pengeluaran proyek yang dibiayai utang luar negeri pada tahun 2001 dan 2002, terlihat jelas bahwa yang memperoleh manfaat terbesar adalah pihak asing sendiri. Antara 35% sampai dengan 90% dari utang dibelanjakan untuk membiayai pengadaan barang dan jasa yang diimpor Indonesia. Selain itu, Indonesia juga harus membayar mahal konsultan asing yang under qualified. Lebih-lebih Indonesia terikat akan keharusan membeli barang dari vendor asing dengan harga 30% sampai 50% diatas harga pasar. Belum lagi Indonesia harus memperhitungkan cost korupsi yang sudah menjadi budaya negeri ini.
So. apalagi sich yang membutakan mata hati penguasa negeri ini untuk berpaling dari kapitalisme dan menuju ISlam. Ataukah hati mereka memang sudah keras. wallahu a'lam Baca Selengkapnya......

JAYA TERUS NASIONALISME INDONESIAKU (1)

Nasionalisme dan Ideologi Islam

Akar nasionalisme

"Kami hanya mengikuti warisan nenek moyang kami!" demikian celoteh bangga umat Nabi Shaleh. "Bangsa Aryan adalah pilihan para dewa", teriak Shah Iran. "Kehadiran negara Jerman raya adalah kemestian sejarah, sebab hanya bangsa ini saja yang layak memimpin dunia!" Demikian Hitler berslogan dalam Mein Kampf. Cukup idiomatik. Persis sesamanya - di mana semua ucapan di atas adalah bersumber dari rasa kebanggaan primordialisme bangsa dan ras yang akhirnya membawa kepada legitimasi, dominasi dan kuasa mutlak bangsa ke atas suatu bangsa lain.

Puncaknya, karena kesukaran mereka untuk melepaskan diri dari tradisi leluhur. Buat mereka, inilah nasionalisme tulen dan inilah juga patriotisme yang tuntas. Sebaliknya hakikat yang bersemi, menunjukkan nasionalisme mempunyai penafsiran yang berbeda, malah lebih organik sifatnya. Malah, dalam mendefinasikan nasionalisme, kita seharusnya tidak terperangkap dengan istilah patriotik, karena makna patriotik hanya terbatas dalam manifestasi diri terhadap negara melalui sebarang perlakuan, pengungkapan, penulisan dan ekspresi diri.

Manakala nasionalisme pula dimaknai sebagai emosi individu atau publik di atas satu landasan persaudaraan terotikal, historikal, bahasa dan cita-cita unggul di atas prinsip moral dan politik demi membela kepentingan negara-bangsanya. Daripada dua gambaran perbedaan inilah, nyata sekali antara nasionalisme dan patriotisme adalah pemikiran yang membawa kefahaman yang berlainan, namun tidak di dapat dinafikan ia mungkin ada beberapa titik persamaan.

Di dalam dunia hari ini, apabila kita merujuk kepada kelahiran sebuah negara melalui pengobaran semangat nasionalisme, ia adalah berkait rapat dengan kelangsungan lima teori utama dalam proses pembinaan sebuah negara. Ini termasuklah, teori semulajadi (natural theory), teori ketuhanan (divine theory), ketuanan raja (divide right of king), kontrak sosial (social contract) dan teori kekerasan (hardliner theory). Kelima-lima kategori ini secara tidak langsungnya telah membantu kita untuk mengklasifikasikan corak pemerintahan sebuah negara-bangsa yang ada. justru, dalam rangka kita untuk menjejak akar nasionalisme, seharusnya kita menghimbau kembali intipati era renaissance, karena di sana ada beberapa faktor rinci yang telah mencetus dan merangsang ideologi nasionalisme dalam bangsa Eropa serta dunia secara amnya.

Pertama, jatuhnya hukuman pembakaran hidup-hidup ke atas Rektor Universiti Praha (Prague), John Hus di Konstanz ( Konstaz adalah satu daerah di perbatasan antara Switzeland dan Jerman).

Kedua, tercetusnya perperangan Hussenitz di Bohemia dan Moravia sehingga membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Czech. Perlu diketahui, perperangan Hussenitz ini tercetus ekoran reaksi amarah rakyat Czech terhadap pembunuhan John Hus.

Ketiga, kelahiran gerakan reformasi pimpinan Martin Luther yang lantang mengkritik kebobrokan institusi gereja Katolik. Dan kelima, terdapatnya terjemahan kitab Bible dalam bahasa Jerman sehingga ia menerbitkan rasa keunggulan bangsa Aryan di dalam rakyat Jerman.

Maka daripada kelima-lima faktor ini, maka dapatlah kita rumuskan bahwa nasionalisme adalah ideologi yang bermuara di Eropa ketika era renaissance di mana salah satu objektifnya asalnya adalah untuk menanamkan kesadaran nasional di kalangan rakyatnya yang telah sekian lama ditindas dan dizalimi. Rousseau, salah seorang pemikir revolusi Perancis contohnya, ketika berbicara mengenai kedaulatan rakyat, seringkali beliau menekankan pentingnya penyuburan ideologi nasionalisme karena baginya, inilah ideologi yang menjadi sumber kebangkitan masyarakat. dampak daripada seruan demi seruan oleh Rousseau dan juga Voltaire, ideologi nasionalisme akhirnya berhasil menjelmakan revolusi Perancis dan seterusnya membuka era pencerahan (englightment) di seluruh benua Eropa. justru itu, nasionalisme yang pada peringkat permulaan seruannya adalah di asaskan dari hasrat murni ke arah mencapai; Liberte (kebebasan), Equalite (persamaan) dan Fraternite (solidaritas)!

Sementara itu dalam sejarah Islam, ideologi nasionalisme mula menyerap masuk ke dalam pemikiran ummah ketika penghujung era kekuasaan Ottoman yang ketika itu di bawah kepimpinan Sultan Abdul Hamid II di Turki. Ketika ini, kekuasaan Ottoman sedang menghadapi krisis dalaman yang kronik di serata tanah naungannya (Hamid Enayat 2001: 171). Dalam keadaan inilah, negara Barat (seperti Britain dan Perancis) telah bijak mengambil kesempatan dengan menggalakkan pembentukan pergerakan-pergerakan yang berunsurkan nasionalisme di samping coba untuk membudayakan sistem kepartaian di tanah air muslim. Selain bertujuan untuk memusnahkan kekuasaan terakhir dalam sejarah Islam itu, tindakan Barat ini juga bertujuan untuk memisahkan-misah tanah air Islam kepada sekte-sekte bangsa yang tertentu.

walhasil, daripada kuatnya pengaruh ideologi nasionalisme yang disemarakkan oleh Barat ini, maka lahirlah pergerakan yang dinamakan seperti al-Fatat (pertubuhan untuk membahagikan negara-negara di bawah naungan kekuasaan Ottoman) dan al-Ahd (pergerakan nasionalis Arab). Kita sebenarnya tidak perlu melihat jauh untuk membuktikan hidden agenda Barat dalam menyebarluaskan ideologi nasionalisme di kalangan tanah air muslim. Satu contoh yang terkenal dalam sejarah Islam dan Arab adalah; bagaimana British telah membantu secara ekonomi dan politik terhadap perjuangan Syarif Husain di Hijaz supaya mereka bangkit memberontak terhadap kekuasaan Ottoman yang berpusat di Turki. Dalilnya cukup mudah; masyarakat Arab telah sekian lama di zalimi oleh kekuasaan Ottoman dan kini tibalah detik perjuangan pembebasan mereka.

Maka, bertitik tolak dari gambaran inilah, terbukti bahwa niat murni di awal kelahiran ideologi nasionalisme di negara-negara Eropa, akhirnya ia telah disalahgunakan di dunia Islam - semata-mata untuk memisahkan tanah air muslim kepada etnik-etnik induk seperti; Arab, Turki, Parsi dan Kurd. Antara nasionalisme Barat dengan Timur Apa perbedaannya, antara Jose Rizal dengan Adolf Hitler? Atau, antara Umar Mukhtar dengan Mossoulini? Juga, antara Bhagat Singh dengan Winston Churcill? Walhal kedua-duanya adalah berjiwa nasionalis sejati pada kacamata rakyatnya! justru, dalam meleraikan persoalan di atas, kita boleh menyoroti sejauh mana tokoh-tokoh ini memaknai nasionalisme menurut mazhab kebenaran, kebebasan dan keadilan. Hitler, Mossoulini dan Churcill merupakan karekter kelahiran Barat yang berjiwa nasionalis dalam versi; menaklukkan dan memperluas tanah jahahannya. Sebaliknya Rizal, Mukhtar dan Bhagat pula adalah nasionalis Asia yang berjuang demi untuk membebaskan tanah airnya daripada cengkaman para imperialis. Mereka-mereka ini bernuasa dari dua aliran pemikiran yang berbeda dan dari dua benua yang berbeda. Masing-masing adalah oposisi sesamanya. Jadi, antara mereka, inilah asas ketara perbedaan nasionalisme Barat dengan Timur.

Beda pada pemaknaannya. Kedatangan Barat ke Timur telah memprofil nasionalisme ke dalam beberapa ciri. Di antara dua ciri utamanya adalah; imperialisme dan koloniolisme. Dan, terdapat tiga tujuan imperialisme menurut rencanaan Barat yaitu; misi menyebar ideologi, kebudayaan dan agama, mengeksplotasi sumber ekonomi Timur dan merebut kekuasaan ke sesuatu wilayah. Manakala kolonialisme pula membawa maksud yang lebih komprehensif di mana ia merupakan satu kekuatan menyeluruh; ekonomi, politik, sosial sebuah bangsa untuk menakluki bangsa yang lain di tanah airnya sendiri. Sebenarnya, sikap hagemoni Barat ini memang tidak perlu kita herankan. Mengapa? karena Barat ketika itu merasakan geografi negaranya kecil dan lantaran itu, mereka telah membuat keputusan untuk menjelajah dan mencari tapak-tapak baru di berbagai belahan dunia terutama di Timur bagi memperluas geografi kekuasaannya (Hashemi Rafsanjani 2001: 71). karena dorongan inilah, maka negara-negara Barat yang kecil seperti Portugal, Sepanyol dan Belanda mampu untuk menaklukkan negara-negara di Asia Pasifik yang luas semata-mata untuk menyempurnakan agenda imperialisme; keagungan misi kebangsaan, memanipulasi kemakmuran ekonomi Timur dan mendominasi sebuah wilayah sebagai tanah jajahannya. Ironinya, tatkala era kolonialisme sepatutnya telah berakhir, dunia kini masih meneruskan rentetan kolonialisme dengan kemunculan neo-kolonialisme yang membawa misi penjajahan baru terhadap negara miskin dan negara membangun.

Pengamalan neo-kolonialisme oleh Barat ini tidak lain dan tidak bukan, merupakan nestapa baru bagi umat manusia yang konon di katakan telah bertamadun. Benarlah apa yang dirintihkan oleh Chairil Anwar, pujangga nasionalis Indonesia sekali berarti, sesudah itu mati (Khalid Jaafar 2003: 132). Manakala dalam membicarakan mengenai perjuangan nasionalisme di Timur ia lebih menjurus kepada perjuangan rakyat untuk membebaskan tanah airnya dari cengkaman penjajah. Bangsa-bangsa di Timur telah melahirkan satu sikap penentangan dan anti-penjajahan Barat. Mungkin tidak dapat di nafikan dalam satu aspek yang berbeda, antara sumbangan besar imperialisme Barat adalah, mereka melahirkan pahlawan-pahlawan Asia seperti; Jose Rizal, Umar Mukhtar, Daud Berueh, Bhagat Singh, Mahatma Gandhi dan Ahmad Boestamam.

Namun begitu, di balik kecaman keras kita terhadap Barat angkara penindasannya yang dilakukannya, sebenarnya terdapat juga tindakan mirip Barat dari kalangan negara-negara Asia sendiri. Jepang misalnya, telah menaklukkan hampir satupertiga negara-negara Asia semasa Perang Dunia Kedua sebelum ia ditundukkan oleh Amerika Syarikat selepas gugurnya bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki. Sama seperti Barat, keinginan dan rencana Jepang ketika itu adalah terbit daripada fanatik nasionalismenya yang cukup tinggi untuk menaklukkan seluruh Asia. Di samping itu, bagi tentera dan rakyat Jepang, ketaatan kepada maharaja dan pemerintahnya adalah kemuncak pengabdian seorang rakyat terhadap pemerintah serta lambang kesempurnaan nasionalismenya.

Begitu juga dengan China. Mao Zedong, pemimpin revolusi rakyat China, adalah pemimpin yang coba untuk merealisasikan ketetapan dasar luar - satu china. Implikasi dari dasar ini, maka negara teologi Tibet yang dipimpin oleh Dalai Lama telah diserang dan ditakluk oleh China meskipun kedua-dua negara tersebut berbeda perjalanan sejarahnya.

Dalai Lama pemimpin agung Buddha Tibet secara monarkinya telah sekian lama memimpin masyarakat Tibet dengan penuh keharmonian dan keamanan. Kendatipun begitu, dengan kehadiran tentera rakyat China, Tibet telah menjadi medan pertempuran yang tidak berkesudahan hingga kini! Jadi, di sebalik kezaliman Barat yang jelas terpapar, sebenarnya turut terselit segelintir bangsa Asia yang menganut fahaman nasionalisme menurut versi Barat. Kesantunan Asia yang di kagumi oleh masyarakat dunia akhirnya tercemar dek keangkuhan dan kebanggaan yang ekstrim terhadap status bangsanya.

Nasionalisme dalam perspektif Al-Banna, Khomeini, An-Nadawi Imam Hassan Al-Banna, adalah pengasas pergerakan Ikhwanul Muslimin. Beliau pernah merasakan hidup derita di bawah penjajahan Barat. Maka bertitik tolak kondisi demikian, wujud semacam perasaan revolusioner dalam dirinya untuk membebaskan Mesir dari belenggu penjajahan British. Lantas, melalui Ikhwanul Muslimin, beliau menyemarakkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Mesir untuk bangkit mencantas kolonialisme British melalui usaha diplomatik dan berbagai siri demostrasi di atas berbagai isu seperti; konflik Palestin-Israel, eksploitasi terusan Suez dan pengaruh budaya Barat yang kian menular di sekitar Kaherah. Alternatif dari moqawama (penentangan) Al-Banna adalah bertujuan untuk menegakkan negara Islam dengan tiga teras kenegaraannya; tanggungjawab pemerintah melindungi kepentingan rakyat, wehdatul ummah dalam ikatan keagamaan dan penghormatan hak rakyat oleh pemerintah. Inilah tiga tawaran Al-Banna dan Ikhwanul Muslimin kepada rakyat Mesir bagi mengantikan sistem penjajah yang diamalkan oleh monarki Mesir pada ketika itu (Siddiq Fadhil 1999: 14). Di sepanjang liku kehidupannya, Al-Banna telah memperlihatkan kematangan dan kebijaksaan sebagai seorang pemimpin besar. Beliau adalah pemimpin yang dilahirkan untuk ummah (born for Ummah). Di waktu memuncaknya ideologi nasionalisme di Mesir, Al-Banna dengan pintar telah mengadunkan ideologi tersebut dengan Islam. Tanpa menolak nasionalisme secara total, Al-Banna menampilkan corak nasionalisme yang berorientasikan kepada kebanggaan terhadap prestasi cemerlang generasi silam, dengan hasrat untuk meneladani kejayaan terdahulu. Pemaknaan nasionalisme demikian dinamakannya sebagai Qawmiyyat al-Majd (nasionalisme keagungan). Manakala, Al-Banna menolak pemikiran nasionalisme dalam arti kata yang mendukung pemugaran budaya pra-Islam sebagaimana langkah kaum nasionalis sekular di Turki yang telah menghapuskan segala simbol dan identiti yang bersifat keislaman pasca kejatuhan kekuasaan Ottoman. Inilah nasionalisme yang diistilahkan oleh beliau sebagai Qawmiyyat al-Jahiliyyah (nasionalisme al-jahiliyyah) yang sewajarnya dihindari oleh setiap muslim (Siddiq Fadhil 1999: 15).

Dalam pemikiran Ruhollah Khomeini, pendiri Republik Islam Iran, nasionalisme telah diketengahkan oleh beliau dalam metode yang logikal dan islamik. Beliau menyifatkan kecintaan terhadap watan (tanah air) serta mempertahankan keutuhan negara adalah sesuatu perkara yang boleh diterima (Kalim Siddiqui, 1985: 21). Namun, bagi beliau nasionalisme yang mendorong kepada permusuhan antara negara-negara Islam adalah perkara yang berbeda perspektifnya (mungkin ucapan beliau ketika ini merujuk kepada tercetusnya perperangan Iran - Iraq yang digelarnya sebagai perperangan yang di paksakan dan perperangan yang diplot oleh Barat untuk memusnahkan revolusi Islam Iran). Di samping itu, Khomeini dalam merumuskan penolakan terhadap versi nasionalisme Barat, menyifatkan nasionalisme seupama ini boleh mengundang permusuhan antara masyarakat Islam serta mengugat perpaduan ummah. Selain daripada itu, nasionalisme seperti ini jelas bercanggah dengan ajaran Islam serta aspirasi ummah itu sendiri. Umat Islam pada anggapan beliau, mampu untuk berdiri sendiri tanpa bergantung dengan mana-mana kekuatan maupun mana-mana ideologi (Kalim Siddiqui 1985: 22). Antara bukti ketegasan dan keyakinan Khomeini adalah melalui pelaksanaan polisi luar Tehran yaitu; la syarqiah, la gharbiyah, jumhuriyyah Islamiyyah (tidak Timur, tidak Barat, tetapi revolusi Islam).

Manakala, dimensi pemikiran Sayyid Abul Hasan Ali An-Nadawi mengenai nasionalisme lebih radikal namun masih tetap menarik untuk ditelusuri. Dalam adikaryanya Maadza khasiral aalam, Binhithatil muslimin (derita dunia bila Islam mundur), beliau telah membentang secara panjang lebar mengenai bahaya ideologi nasionalisme. Menurut An-Nadawi, berkembangnya fanatik nasionalisme di Eropa adalah dipengaruhi oleh pembagian dua belahan dunia; Barat dan bukan Barat. Jadi, dengan memisahkan dunia kepada dua belahan, maka ia telah mewujudkan dua kelas manusia; kelas mulia dan kelas hina, kelas tinggi dan kelas bawahan. Tanggap An-Nadawi lagi, corak pemikiran ini merupakan lanjutan daripada pemikiran yang dianuti oleh kaum Yahudi yang mana mereka melabelkan manusia selain bangsanya sebagai goyim.

Waima, apa yang dikesalkan oleh An-Nadawi adalah sikap fanatik nasionalisme ini akhirnya telah berhasil menyerap masuk ke dalam pemikiran umat Islam. Pada An-Nadawi, pudarnya penghayatan Islam di kalangan negara-negara Islam merupakan faktor utama yang mendorong penularan fenomena ini. Bahkan tambah An-Nadawi lagi, negara-negara Islam ini tampaknya lebih terpesona dengan idea nasionalisme menurut versi Barat yang konon didakwa mampu memodenkan sebuah negara (Abul Hasan An-Nadawy 1986: 202). . An-Nadawi tidak meninggalkan kenyataan ini tanpa pembuktian. Beliau membawa contoh mengenai kebangkitan golongan Turki Muda yang telah bersengkokol dengan Mustafa Kamal Attaturk untuk mengulingkan kekuasaan Ottoman (Abul Hasan An-Nadawy 1986:199). Golongan Turki Muda inilah yang menjaja ideologi nasionalisme bagi mengantikan gagasan pan-Islamisme. Mengenang peristiwa inilah, An-Nadawi memperingatkan kita dengan memetik rakaman al-Quran dalam surah al-Hasyr: 16 yang bermaksud; pujukan orang-orang munafik itu adalah seperti pujukan syaithan, ketika dia berkata kepada manusia: kafirlah kamu, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata: sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu.

Keseluruhan pemikiran An-Nadawi tentang nasionalisme ini seolah-olah mengajak kita untuk menolak nasionalisme secara total dengan menawarkan Islam sebagai jalan penyelesaian mutlak - dalam sebarang pemasalahan manusia. Pada beliau, nasionalisme tidak lebih sebagai propaganda ciptaan Barat untuk melambatkan kebangkitan Islam yang telah dijanjikan. Dikotomi Islam - nasionalisme dalam pemikiran Dr. Burhanuddin al-Helmy Dr. Burhanuddin Al-Helmy adalah sosok yang paling layak untuk di amati, andainya kita memperkatakan mengenai dikotomi Islam dan nasionalisme.

Pemikiran politik beliau sentiasa menekankan tiga aspek terpenting dalam perjuangan beliau yaitu; kemerdekaan, kebangsaan Melayu dan Islam (Kamarudin Jaafar 2000: 9). Hujah yang beliau kemukakan sebagai sandaran adalah; kasihkan watan itu adalah bagian daripada iman dari untaian hadist Rasulullah saw. Dalam rangka untuk menyoroti lebih mendalam pemikiran tiga dimensi beliau ini, hendaklah kita himbau kembali penegasan yang pernah dibuatnya dalam tulisan beliau yang bertema Perjuangan Kita; Iman berdiri di atas tubuh. Tubuh berdiri di atas bangsa dan bangsa berdiri di atas watan. Salah satu daripada yang empat ini tiada boleh bercerai tinggal dalam binaannya tetapi watan jadi pokok. Ada watan adalah dengan kuat bangsa. Kuat bangsa keluar dari tubuh diri yang sihat kuat dan perkasa seperti pekerja, pahlawan, prajurit dan lain-lain. Maka dalam jiwa pekerja pahlawan prajurit itulah terletaknya iman (Kamarudin Jaafar 2000: 48).

Apa yang terserlah di sini, Dr. Burhanuddin coba untuk menyelesaikan dikotomi antara Islam dan nasionalisme dengan mencorakkan perjuangan nasionalisme sebagai bagian daripada elemen perjuangan Islam. Pemikiran progresif Dr. Burhanudin ini sebenarnya setaraf dengan pemikiran pemimpin pemimpin kemerdekaan di Asia pada ketika itu seperti Mahathma Gandhi, Sukarno dan Sir Muhammad Iqbal. Mungkin persamaan ini terbentuk karena pengaruh pendidikan Dr. Burhanuddin yang pernah menuntut di India. Semasa beliau menuntut di Ismaeliah Medical College dan Aligarh Muslim University, beliau berkesempatan untuk mengikuti dan mendalami doktrin perjuangan Gandhi, Ali Jinnah dan Jawaharlal Nehru untuk beliau menyesuaikan nasionalisme mereka dengan corak perjuangan di Tanah Melayu, sekembalinya nanti.

Namun begitu, perlu ditegaskan disini bahwa perjuangan kebangsaan Melayu Dr. Burhanuddin bukanlah berniat untuk menindakkan hak-hak etnik lain untuk hidup harmoni di Tanah Melayu. Sebagai pemimpin yang bersifat negarawan, beliau tidak mennampakkan dirinya sebagai pemimpin cauvinis yang ekstrim ataupun assabiyyah sebagaimana yang diwar-warkan oleh musuh politik beliau. Pendirian beliau ini ditegaskan dalam tulisannya yang bertema Falsafah Kebangsaan Melayu; Kita hendak mendirikan negara kebangsaan Melayu di atas dasar kebangsaan, menurut keadilan dan kemanusiaan yang luas sama berhak dan adil, bukan sesekali kebangsaan yang sempit, jauh sejauh-jauhnya dari berbau perkauman dan perasaan yang kolot dan kuno (Kamarudin Jaafar 2000: 110). Dalam sisi Islam pula, Dr. Burhanuddin melihat nasionalisme sebagai wasilah (alat) bukannya ghayah (matlamat).

Menurut beliau, nasionalisme mengambil posisi selunak yang mungkin serta menjadi lambang yang boleh menggembleng segala kekuatan ummah demi mencapai cita-cita mulia yang luhur dan abadi.

Dalam Falsafah Kebangsaan Melayu, - sesudah memetik surah al-Hujurat: 13, sambil menafsir ayat tersebut - beliau merintih, apalah artinya perkenalan jika tidak terlebih dahulu terdiri kekuatan kaum dan bangsa yang hari ini dikenal dengan kebangsaan itu dengan suatu kebangsaan yang lain (Kamarudin Jaafar 2000: 95). Bagi menjawab berbagai tuduhan dan tohmahan pemerintah Tanah Melayu dan pihak penjajah, Dr. Burhanuddin dalam ucapan beliau sebagai Yang Dipertua PAS ketika muktamarnya pada tahun 1957 telah mengungkapkan dengan penuh bersemangat tentang pendiriannya, sesungguhnya saya dan pihak partai Islam tidaklah berbau komunis dan imperialis, saya dan PAS adalah berisi, bersifat, berbau kebangsaan Melayu dengan cita-cita Islam (Kamarudin Jaafar 2000: 18).

Sejarah menyaksikan, dengan kenyataan tegas Dr. Burhanuddin ini, beliau telah membuktikan bahwa dirinya adalah antara tokoh yang banyak berjasa demi melihat Tanah Melayu hidup aman, makmur dan harmoni sebagaimana yang diimpikannya. Mudah-mudahan pengorbanan suci beliau ini, dinilai secara adil oleh generasi selepasnya. Dinamika Nasionalisme dalam era globalisasi Ciri globalisasi yang instantness telah menjelmakan satu fenomena baru yang sangat kompleks. Muktahir ini, memang tidak dapat dinafikan bahwa kehadiran globalisasi telah memberikan dampak besar kepada ideologi nasionalisme yang meluas dipraktikkan di kebanyakan negara-bangsa pasca Perang Dunia ke-II. Kenichi Ohmae pernah menyatakan bahwa masa depan negara-bangsa laksana dinasour yang sedang menanti kunjungan ajal. Begitu juga Daniel Bell dalam bukunya The end of idealogy yang di terbitkan puluhan tahun sebelum tamatnya era perang dingin - di mana zaman ideologi-ideologi bersaing merebut pengaruh masing-masing - telah membentangkan pandangannya bahwa persaingan ideologi sudah tidak relevan lagi dengan peredaran zaman termasuklah juga ideologi nasionalisme.

Apakah yang mendorong pemikir-pemikir ulung ini berteori sedemikian? Tidak lain, karena wujudnya paradoks antara arus sejagat dengan ideologi-ideologi, termasuklah ideologi nasionalisme. Dalam membahas persoalan rumit ini, kita perlu menyedari bahwa posisi nasionalisme dalam arus globalisi telah dipolarisasi kepada dua situasi; nasionalisme di negara maju (baca: Barat) dan nasionalisme di negara membangun (baca: negara-bangsa). Sejak dua dekad lalu, globalisasi telah membentuk jurang yang tidak adil atau bias kepada kelompok negara-bangsa yang kebanyakan terdiri daripada negara-negara membangun.

Hal ini terjadi karena negara-negara maju telah mengeksploitasi daya kekuatan ekonominya melalui sistem pengantarbangsaan ekonomi ke arah merealisasikan misi neo-kolonialisme mereka. Susulan daripada eksplotasi inilah yang menyebabkan pengaruh ideologi nasionalisme mula terancam kalangan negara-bangsa. Di samping itu, wujud juga di kalangan elit ekonomi dan politik sesetengah negara-bangsa yang terbuai dengan retorika globalisasi cerminan Barat (Abdul Rahman Embong 2000: 76). Globalisasi kini telah menghakis emosi nasionalisme.

Dengan pengamalan sistem laissez faire di kebanyakan negara-bangsa, kekayaan negara dan kuasa membeli rakyat menjadi rebutan Barat. Dewasa ini, persoalan kekentalan nasionalisme di kalangan rakyat negara-bangsa mula diperdebatkan. Masakan tidak! Rakyat negara-bangsa kini lebih memuja produk Barat sambil memperlekehkan produk nasionalnya. Ya, mungkin salah satu faktor yang mendiskreditkan nasionalisme adalah kualitas produk nasional, dimana produk nasional jelas gagal bersaing dengan produk Barat - dalam mayoritas aspek. Rentetan daripada situasi ini, nilai-nilai nasionalisme di kalangan rakyat negara-bangsa secara tidak langsungnya turut terhakis sekali. Maka tidak dapat dielakkan lagi, bahwa nasionalisme mula dihimpit oleh arus globalisasi.

Jadi, inilah tantangan yang perlu ditangani oleh nasionalisme. Tidak mustahil jika fenomena ini makin rancak dan berkelanjutan, maka ideologi nasionalisme boleh terkubur ditelan arus globalisasi yang diprakarsai oleh Barat. Bertolak dari kesadaran inilah, maka perlu tampil satu resolusi yang tegas dan jelas sebagai mempertahankan eksistensi negara-bangsa yaitu; Islam! Jawaban Islam ! sementara kita membahas mengenai ideologi nasionalisme dalam berbagai konteks; Barat dan Timur, sorotan pemikiran dari tokoh tersohor dan fungsinya dalam arus globalisasi, maka ia menyakinkan kita bahwa ideologi nasionalisme bukanlah penyelamat tunggal kepada kemanusiaan dunia. Bagi Kalim Siddiqui (1985: 1), nasionalisme tidak lebih sebagai doktrin politik yang menyerang umat Islam dalam tempoh 100 tahun terakhir ini.

Jadi, apa jawaban Islam terhadap nasionalisme? Menolak nasionalisme; membentuk gerakan Islam di seluruh dunia! Tegas Siddiqui. Dan, kini, sudah tiba saatnya, bagi umat Islam menyakini akan kemampuan Islam dalam mengurus kehidupan di samping mengikis rasa hormat yang tinggi terhadap Barat. Sungguhpun melangit tinggi keinginan kita untuk melakukan tranformasi total ini, namun masih adalah kriteria yang perlu dilengkapi sebelum hasrat kita dapat direalisasikan. Menurut Siddiqui lagi, dunia Islam dan dunia seluruhnya memerlukan seorang pemimpin yang bersifat inklusif, global dan berwibawa.

Hanya dengan lengkapnya syarat ini saja untuk membolehkan dunia menjadi satu negara-bangsa saja (Kalim Siddiqui 1985: 16). Manakala Mohamad Abu Bakar (2000: 14) melihat orde Islam sebagai alternatif. Dengan melihat keutuhan negara-bangsa sebagai unit teras dan terpenting dalam pentas politik dunia, maka menurut beliau, sebarang perubahan drastik dan dramatis hanya boleh berlaku sekiranya pengglobalan nilai-nilai Islam yang memungkinkan orde Islam yang memerintah negara-bangsa dan dunia sekaligus.

Pada beliau, inilah keadaan final sebagaimana yang dimaksudkan oleh Hassan Turabi. Turabi menegaskan, jika kesemua pergerakan Islam menjadi negara Islam, maka imbangan antarbangsa akan turut berubah. solusinya, dunia Islam mesti berubah. Meskipun sejumlah besar anggota ummah dewasa ini berada dalam diaspora, namun peluang pengglobalan Islam untuk membesar tetap cerah - selagi ummah bergerak dalam homo islamicus (manusia Islam sebenar). Samada melalui idea Siddiqui maupun idea Turabi, masing-masing ada satu persamaan yaitu; keyakinan kepada kejayaan Islam seluruhnya.

Lantaran itu, campakkanlah segala akar umbi ideologi nasionalisme dari minda ummah dan marilah kita sama-sama gerakkan satu kekuatan raksasa; mensejagatkan Islam dalam kehidupan dunia. Biarlah dunia akan datang beroperasi dalam kerangka Islam. Percayalah, nun jauh di sana ada cahaya bagi kemenangan Islam bukan hanya kemenangan muslim semata-mata.

Rujukan
1.Abdul Rahman Embong. 2000. Malaysia Menangani Globalisasi, Peserta atau Pemangsa? Di sunting oleh Noraini Othman dan Sumit K. Mandal. Cetakan Pertama. Bangi, Selangor. Penerbit UKM.
2.Abul Hasan An-Nadawy. 1986. Apa Derita Dunia Bila Islam Mundur. Terjemahan H. Zubeir Ahmad. Cetakan pertama. Malaysia. Thinkers Library Sdn Bhd.
3.Ali Akbar Hashemi Rafsanjani. 2001. Keadilan Sosial: Pandangan islam tentang HAM, Hagemoni Barat & Solusi Dunia Modern. Diterjemahkan oleh Anna Farida. Cetakan Pertama. Bandung, Indonesia. Penerbit Nuansa.
4.Hamid Enayat. 2001. Modern Islamic Political Thought. Kuala Lumpur. Islamic Book Trust.
5.Kalim Siddiqui. 1985. Negara Nasionalisme Penghalang Pembentukan Ummah. Terjemahan Mahzan Ahmad. Cetakan pertama. Kuala Lumpur. Pustaka Al-Alami.
6.Kamarudin Jaafar. 2000. Dr. Burhanuddin Al-Helmy: Pemikiran dan Perjuangan. Cetakan Kedua. Kuala Lumpur. Penerbit Ikdas Sdn Bhd.
7.Khalid Jaafar. 2003. Tumit Achilles. Cetakan Pertama. Kuala Lumpur. Institut Kajian Dasar.
8.Prof. Madya Dr. Siddiq Faddil. 1999. Hasan Al-Banna: Kepoloporannya Dalam Gerakan Reformasi. Cetakan Pertama. Kuala Terengganu. Yayasan Islam Terengganu.
9.Prof. Madya Mohamad Abu Bakar. 2000. pengglobalan Islam dan Perpaduan Ummah: Menelusuri Politik antarbangsa Masa Kini. Cetakan Pertama. Kuala Terengganu. Yayasan Islam Terengganu. Baca Selengkapnya......

Budaya dan Etos Kerja

Budaya dan Etos Kerja
(Menurut Prof.Dr. Laurence Adolf Manullang)


Persepsinya terhadap kultur sangat positif. Saat ini, meskipun Laurence adalah seorang ekonom, penyandang Doktor Ekonomi dengan jalur minat utama Management Akuntansi, tetapi senang dan sedang mengadakan penelitian mengenai kultur Indonesia, untuk digunakan sebagai motivasi etos kerja. Agar tahan bekerja dengan jam-jam panjang dan produktif, percaya diri dan memiliki budaya malu melakukan kecurangan apalagi praktek korupsi dan memberantas budaya munafik.



Menanggapi latar belakang apresiasinya terhadap kultur ini, Laurence membeberkan pengalaman pribadinya. Suatu saat pada waktu berkunjung ke Korea Selatan, dia menyaksikan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional Korea Selatan sungguh sangat mengagumkan. Laurence bertanya-tanya, apa yang menjadi motivasi yang mampu mempersatukan seluruh rakyat Korea Selatan untuk bekerja keras. Bayangkan hampir semua tenaga produktif orang Korea Selatan mampu bekerja 18 jam satu hari. Laurence dapat menemukan motivasi itu adalah faktor kultur.



Laurence membaca satu majallah terbitan Korean Air Line yang menceriterakan asal-usul orang Korea. Katanya, orang Korea adalah termasuk suku bangsa tua yang berasal dari hasil perkawinan campuran antara Cina dan Siberia (Rusia). Sedangkan Jepang berasal dari satu propinsi di Cina, yang eksodus transmigrasi menempati teritori yang paling timur di Asia yang secara langsung terlepas dari daratan Cina. Orang Korea mengumumkan bahwa orang Jepang jauh lebih muda dari orang Korea.



Tapi Jepang sempat menjajah Korea selama 35 tahun. Lalu pemimpin Korea mengumandangkan bahwa sebagai saudara muda, orang Jepang seharusnya tidak layak menjajah Korea big brother-nya sampai 35 tahun. Namun sayang, itu telah terjadi. Tapi sekarang tibalah saatnya Korea menjajah Jepang dari sudut ekonomi demikian pemimpin Korea memotivasi rakyatnya untuk bekerja keras membangun negeri.



Ternyata motivasi ini sangat mujarab, orang Korea memiliki etos kerja yang dahsyat. Rupanya motivasi yang paling kuat untuk membangun etos kerja kalau dapat dikaitkan hal positif dari faktor keturunan dapat merupakan pendorong yang ampuh.



Kemudian, Laurence berpikir, Indonesia dari keturunan mana. Dalam sejarah hanya ditulis sekilas, katanya, Indonesia berasal dari Asia kecil. Apakah semua etnis di Indonesia berasal dari Asia kecil. Setelah Laurence berkeliling Asia dan negara lain, dia temukan persamaan kultur di negera lain mirip dengan kultur suku-suku di Indonesia. Seperti kultur Thailand mirip dengan kultur Jawa, Minang dengan Arab/Portugal, Batak dengan Philipina/Mongolia, Bugis dengan Malaysia, Maluku dengan Spanyol, Minahasa dengan Belanda, dan Aceh perpaduan antra 4 sukubangsa yaitu Arab, Cina, Eropa dan Hindu (ACEH).



“Kalau kita memperhatikan pilahan keempat suku bangsa itu dapat dilihat ada di Aceh, makanya gerakan-gerakan di Aceh selalu dipelopori orang Aceh yang menjadi warga negara salah satu negara di Eropa,” jelas Laurence.



Suku-suku di Indonesia ada yang dengan apik melestarikan budaya mereka dalam bentuk buku dan wayang seperti orang Jawa. Sementara orang Batak, sangat minim. Baru ditemukan satu hasil penelitian dari Dr Lance Castles, yang mengadakan reseach guna melengkapi disertasi PhD di Yale University mengenai politik Tapanuli 1915-1940 di mana 60 % isi buku itu mengangkat perjuangan Tuan MH Manullang yang dijuluki dalam buku itu sebagai Soekarno van Batak, satu-satunya orang pribumi yang berani menampar muka controleur orang Belanda di muka umum setelah dipaksa turun dari kudanya.



Hasil research itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang indah oleh Prof.Dr. Maurits Simatupang, dari judul aslinya: The Political Life of a Sumatran Residency, Tapanuli 1915-1940, diterbitkan oleh KPG (Gramedia - tahun 2001). Sumber penelitian itu hampir tidak ada di Indonesia, apakah museum nasional atau daerah di Sumatra Utara bahkan Tapanuli Utara asal dari pejuang itu. Malahan sumber autentik penelitian mengenai perjuangan itu ditemukan di negeri Belanda sepeti Leiden, Universitas Amsterdam, Barmen-Jerman, arsip Oegstgeest - Belanda, dan perpustaka-an Yale University itu sendiri.



Marga Manullang? “Oh ya, susah didapat,” kata Laurence. Malah Laurence pernah bertanya-tanya asal muasal Manullang ini. Sebab saban memperkenalkan diri marga Manullang tidak sedikit orang ketawa terutama ibu-ibu. Manullang artinya pendorong, pendobrak, sebenarnya positif tetapi ada juga dikaitkan pada hal yang lucu, seperti menjebol, menusuk dalam arti yang bervariasi, serta dipelesetkan kependekan manusia langka.



Karena marga ini sudah given, tidak bisa lagi diubah atau ditanggalkan maka Laurence mengadakan penelitian asal usul marga Manullang ini untuk diceri-terakan pada anak dan cucu sebagai motivasi bagi mereka untuk maju sama seperti orang Korea behasil mengguna-kan asal-usulnya sebagai pemacu semangat tinggi membangun negerinya.



Memang Manullang itu dalah manusia langka sebab sejak tanggal 12 Agustus 1883 pada saat tempat mereka berdiam yaitu kampung Bakkara yang berfungsi sebagai pusat kebudayaan Batak tempat singgasana Raja Sisingamangaraja, dibumihanguskan Belanda karena menolak tawaran Belanda untuk dijadikan Sultan Batak Raya. Mereka memilih berjuang sampai gugurnya Raja Sisingamaraja XII pada tanggal 17 Juni 1907.



Kemudian perjuangan diteruskan melawan Belanda dan Jepang sampai tahun 1950 (pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda). Perjuangan yang panjang itu banyak mengorbankan putra-putra bangsa, gugur sebagai kusumah bangsa. Dengan 6 bersaudara dalam rumpun Si Raja Oloan, di mana urutan-urutannya adalah Naibaho, Sihotang, Bakara, Sinambela (dari marga ini Raja Sisinga-mangaraja), Sihite dan Simanullang.



Karena Raja Sisingamaraja memiliki kesaktian dan tetap mampu memper-tahankan diri sebagai orang yang paling bersih, maka pemerintahannya sehari-hari dipercayakan pada Manullang di mana Mangaraja Onggang Parlindungan menjulukinya sebagai Perdana Menteri yang mengendalikan pemerintahan. (Mangaraja Onggang Parlindungan adalah Letkol AD Pensiunan NRP 13.3.13, ahli tarik bom, yang terakhir bekerja di pusat sejarah angkatan darat, menulis dalam bukunya dengan judul Tuanku Rao, Penerbit Tandjung Pengharapan, tahun 1964).



Jadi yang paling banyak korban dalam peperangan itu karena yang paling banyak diburu Belanda adalah memang marga Sinambela dan marga Manullang, menjadikan manullang manusia langka ada juga benarnya.



Laurence juga memburu dokumen yang menceriterakan asal-usulnya sampai ke Leiden, Manhantan New York, karena dulu Manhantan, New York itu milik Belanda yang dibeli dari suku Indian seharga $29 lalu dijual Belanda ke AS, memang arsipnya di sana sangat lengkap dan tulisan baik itu ditulis di atas kulit kayu dan kertas Mesir, termasuk alat-alat perang yang digunakan dirawat dengan apik oleh pengelola museum tersebut.



Hasil temuan itu membuktikan bahwa Manullang itu adalah keturunan pejuang dalam peperangan yang berkepanjangan tanpa mengenal menyerah. Juga dari pihak ibunya adalah cucu budayawan Baginda Panny (guru Marpaung) pencipta si Gale-gale di mana hasil karyanya disimpan di Museum Nasional dan nenek pengasuhnya adalah cucu Raja Sijorat VII, ayahnya Raja Sijorat VIII yang gigih berjuang melawan Belanda wafat sebagai pahlawan dimakamkan di komplek R.S. HKBP Balige. Dia juga sangat senang mempunyai menantu Rina Idroes Chaniago, cucu dari Pak Idroes pejuang RI yang dibuang Belanda bersama-sama Bung Hatta ke Diegul, istri anaknya yang keempat, Rizal Ruben Manullang.



Temuan ini merupakan hasil penelitian yang diangkat Laurence menjadi motivasi untuk membangkitkan spirit anak-anaknya. Ternyata berhasil terbukti dari daya juang anak-anaknya semua tinggi, kelima anaknya semua berani belajar ke tempat jauh seperti Inggris, Amerika Serikat walaupun masih sangat belia selesai SMP kelas III. Sekarang semua telah mencicipi pendidikan gelar Master, dan semua telah mandiri dari segi mata pencaharian. Malah seorang anaknya sedang dalam tahap menyelesaikan program Ph.D.



Motivasi Etos Kerja

Saat ini, meskipun Laurence adalah seorang ekonom, penyandang Doktor Ekonomi dengan jalur minat utama Management Akuntansi, tetapi senang dan sedang mengadakan penelitian mengenai kultur Indonesia, untuk digunakan sebagai motivasi etos kerja, agar tahan bekerja dengan jam-jam panjang dan produktif, percaya diri dan memilki budaya malu melakukan kecurangan apalagi praktek korupsi dan memberantas budaya munafik.



Hasil penelitian yang sedang berlanjut membuahkan hasil sementara bahwa orang Batak berasal dari satu rumpun dengan saudaranya Si Raja Boni yang merantau ke Selebes yang kemudian namanya Si Raja Bone, dan Si Raja Lapung yang menempati lokasi sekitar danau Ranau Komering, turunan suku bangsa Meo, kakaknya Toraja, yang berasal dari kakeknya Esau anak Isak, keturunan Ibrahim orang Iberani.



Laurence sedang mengecek keab-sahan sumber penelitian tersebut agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan dari segi ilmiah dan emosional dan genuine, di mana mungkin diperlukan kira-kira 7 tahun lagi untuk merampungkannya. Juga, Laurence akan membentuk tim peneliti untuk menggali pembuktian tentang dugaan sementara bahwa Gajahmada itu adalah Gajah Manullang Dairi.



Menurutnya, animo penelitii harus dibangkitkan menjadi motivasi dahsyat bagi anak-anak bangsa. Nama besar digunakan untuk mengbangkitkan motivasi anak-anak bangsa yang hampir punah oleh sebab perjuangan yang sa-ngat panjang dan berkelanjutan, menurut Laurence adalah positif.

(Dikutip oleh YonhartS pada tanggal 10 Juli 2008) Baca Selengkapnya......

Mahasiswa Indonesia

Mahasiswa, Reformasi dan Cita-Cita Kebangkitan.


Orang yang melupakan Sejarah adalah orang yang akan kehilangan masa depan. Mungkin ungkapan itu ada benarnya jika kita menyimak perjalanan hidup ini. Dimana kadang dihadapan kita muncul sebuah siklus peristiwa yang seakan merupakan refleksi masa lalu sehingga sejarah disini betul-betul baik untuk dijadikan panduan. Bahkan kalau kemarin kita membuat sebuah kesalahan maka pada kasus yang sama hari ini ,kisah kemarin itu bisa menjadi pelajaran berharga untuk melakukan perbaikan. Begitu pula tatkala kita berhadapan dengan realitas yang agak berbeda atau bahkan kontradiksi dengan sejarah, minimal bagi kita sejarah itu akan berguna sebagai bahan studi komparatif dengan masa kekinian untuk kemudian dibawa dalam konteks Quo Vadis. Walaupun begitu kita harus tetap memposisikan sejarah bukan sebagai subyek, dalam artian seperti apa wujud masa depan yang ingin diraih sangat tergantung dari keinginan, keseriusan dan gerak generasi yang sedang eksis dalam kehidupan kekinian.

Bagi Mahasiswa sendiri, beberapa peristiwa telah dijadikan sebagai bagian dari sejarah yang mungkin sulit untuk dilupakan. Entah karena peristiwa itu berkisah tentang cerita heroik para mahasiswa dalam geliat sebuah perjuangan, potret mahasiswa yang dijadikan tunggangan politik, sampai pada tragedi tragis yang menjadikan mahasiswa sebagai korban penindasan resim. Perjalanan yang dilalui mahasiswa bisa dikatakan sudah cukup panjang. Indikatornya bukan hanya rentang waktu yang telah memasuki hitungan abad (Sejak 1908) tetapi juga dari banyaknya babakan-babakan yang telah diperankan mahasiswa dalam kurung waktu tersebut. Setidaknya jika dipolarisasi, perjalanan itu bisa tersaji dalam wajah mahasiswa sebelum kemerdekaan dan wajah mahasiswa pasca kemerdekaan. Dalam tinjauan yang lebih detail lagi untuk pasca kemerdekaan,kita bisa melihat adanya beberapa fase seperti era gerakan mahasiswa 1966 pejuang orde baru,gerakan mahasiswa 1974 penggugat politik orde baru, gerakan mahasiswa 1978 penggugat kepemimpinan nasional, gerakan mahasiswa1998 pejuang reformasi, sampai pada pasca 1998 yang berorientasi untuk mengawal reformasi (Patah Tumbuh Hilang Berganti ; Adi Suryadi Culla). Dalam konteks tersebut, mahasiswa telah menjadi bagian dari sebuah kekuatan sosial dan kekuatan politik yang sangat kental dan memiliki pengaruh besar dalam mendesain bentuk dan arah bangsa ini. Mungkin ini pulalah yang menjadi prestise sehingga kalangan mahasiswa sampai hari ini masih tetap berteriak atau minimal dengan jaket almameternya berkata kepada masyarakat, aparat, dan pemerintah “Saya adalah Mahasiswa”.
Sekitar 8 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 21 Mei 1998.Mahasiswa telah mengukir sebuah momen bersejarah dalam kiprahnya, dimana dengan jargon Reformasi mampu melengserkan kekuatan Status Quo dibawah kepemimpinan Presiden Suharto. Mungkin sebelumnya tidak ada yang bisa membayangkan bahwa resim yang telah menancapkan pondasi kekuasaan yang sangat kuat lewat pengendalian birokrat dan militer ini bisa takluk ditangan mahasiswa. Tapi toh sejarah memang menunjukkan kenyataan seperti itu dan sekaligus menjustifikasi bahwa pengaruh mahasiswa dalam konstelasi politik memang cukup besar. (walaupun penulis sendiri tetap berpendapat, bahwa mahasiswa bukanlah pemegang kartu AS perubahan sosial)

Saya ingin mengajak kepada teman-teman semua untuk merenungi sisi lain dari sketsa perjuangan mahasiswa. Perenungan yang diharapkan mampu mengungkap kelemahan sehingga bisa diusahakan cara untuk menutupinya,mampu menilai kesalahannya sehingga bersama-sama kita memperbaikinya. Dalam benak saya, segala gerak-gerik dan aktivitas yang kita lakukan itu selalu diarahkan menuju sebuah kondisi yang ideal. Termasuk mengapa mahasiswa,juga masyarakat tidak pernah berhenti menginginkan perubahan, tentu karena belum adanya kondisi ideal yang secara faktual mampu dilihat dan dirasakan. Merujuk dari keinginan fitrawi kita sebagai manusia, kondisi ideal itu dalam wilayah yang bisa kita sepakati adalah sebuah tatanan yang mampu menghadirkan keamanan, keadilan dan kesejahteraan. Begitu pula dalam sebuah sistem sosial dan sistem politik (masyarakat dan bernegara) kita pun menginginkan kondisi yang ideal atau dalam kata lain kita ingin menjadi umat yang bangkit, maju, terdepan, bahkan menjadi pemimpin (leader). Dalam garis Sunnahtullah, akan senantiasa ditemukan ada orang baik, ada orang jahat.Ada orang yang suka merusak namun ada juga yang selalu berusaha memperbaiki. Begitu pula masyarakat, ada masyarakat yang mendominasi dan ada juga yang inferior.Ada masyarakat yang maju, ada juga yang mundur. Ada yang bangkit tetapi juga ada yang tidak bangkit.Fenomena ini tentu menjadi realitas yang tidak bisa kita tolak. Masyarakat misalnya, ketika mampu memposisikan diri sebagai masyarakat yang bangkit maka otomatis dijadikan patron / kiblat bagi masyarakat yang lain. Contohnya, Islam sebagai sebuah pandangan hidup yang menyeluruh, pernah mengatur kehidupan masyarakat sehingga mampu mengantarkannya kepuncak kejayaan. Tatanan masyarakat Islam yang dibangun mampu memancarkan cahaya kedamaian dan keadilan ditengah-tengah masyarakatnya. Masyarakat Islam (Khilafah Islam) walaupun mendominasi tetapi tidak menghancurkan. Walaupun menjadi pemimpin, tetapi tidak arogan dan walaupun senantiasa menyebarkan ide-idenya, tetapi rahmat yang dibawanya selalu mendapat sambutan yang hangat. Maka tidak heran, selama kurang lebih 14 abad dunia diwarnai oleh peradaban Islam, dengan menorehkan tinta emas bagi kehidupan. Lain halnya dengan saat ini, dimana kiblat masyarakat telah beralih ke penjuru yang lain yakni ke arah peradaban barat (kapitalisme). Kendali kehidupan dunia didominasi oleh barat sehingga warna dunia pun ditata oleh kebudayaan dan peradaban barat. Sebagaimana Islam sebelumnya, Barat pun mendominasi tetapi bedanya barat adalah penghancur bagi yang lemah. Barat juga menjadi pemimpin tetapi bedanya barat bukanlah pemimpin yang baik.

Pertanyaannya sekarang, diantara dua pilihan antara menjadi umat yang bangkit atau menjadi umat yang inferior, mana yang kita inginkan? Memilih menjadi umat yang bangkit artinya kita ingin menjadi umat yang berkuasa, umat yang terdepan, dan pemimpin, ataukah kita hanya ingin menjadi umat yang inferior yang artinya terbelakang, pengekor, tidak punya harga diri, dan harus siap menjadi obyek pembodohan. Pertanyaan ini perlu dijawab sebagai sebuah Kondisi yang ideal yang kita inginkan untuk kemudian menetapkan langkah-langkah yang harus dilalui. Begitu pula bagi mahasiswa dengan berbekal ruh perubahan yang dimiliki diharapkan nantinya bisa menetapkan mainstrem pergerakannya supaya tidak terkesan asal-asalan dan apa adanya.
Kembali pada sketsa pergerakan mahasiswa di Indonesia dengan cukup mengambil sampel era Reformasi 1998, patut juga kita bertanya bahwa kondisi ideal seperti itukah yang menjadi cita-cita tertinggi kita? Sangat disayangkan, karena menurut saya cita-cita itu sangatlah dangkal!Sepertinya kita tidak pernah mau belajar dari sejarah dimana setelah sekian lama harapan ideal kita belum juga terealiasi. Pernah muncul sebuah harapan tatkala kita berhasil meruntuhkan resim misalnya, menggagalkan kebijakan diskriminatif atau bahkan mengusir penjajah, tapi itu tidak bertahan lama hingga permasalahan yang lebih kompleks justru kembali muncul. Sangat wajar karena pola yang kita gunakan selama ini sama saja, tidak berangkat dari sebuah pencermatan yang mendalam tentang formulasi seperti apa yang seharusnya dimunculkan, ataukah yang sangat memprihatinkan ketika bekal yang kita punya hanyalah semangat ‘tok’.

Menyibak hitamnya kesadaran kita untuk memaknai sebuah ‘kebangkitan’

Terkait juga dengan penetapan tanggal 20 Mei sebagai hari kebangkitan nasional, Bagaimana model kebangkitan hakiki yang seharusnya kita usung? Kata kebangkitan adalah sebuah kata indah yang seringkali diucapkan untuk memaknai sebuah kondisi baru yang lebih baik. Sebuah kondisi masa depan yang lebih progresif, tetapi kadang-kadang hanya menjadi sebuah khayalan atau utopi baru bagi orang-orang yang suka berkhayal. Kita katakan demikian karena kesadaran orang-orang itu tidak lagi mampu menjangkau arti sebuah kebangkitan. Kebangkitan dalam pemaknaan mereka hanya mampu dimaknai sebagai sebuah semangat untuk berubah sampai pada titik dimana semangat itu redup kemudian mati. Lalu sudut-sudut negeri ini kian gelap, sampai pada saat kegelapan itu makin larut, suara-suara kebangkitan itu menyendiri, seperti sepinya lolongan serigala yang memandang terangnya bulan dari kejauhan.

Sebuah umat yang bangkit cenderung menjadi berpengaruh dalam percaturan/interaksinya dengan umat-umat atau bangsa-bangsa yang lain. Bahkan menjadi poros perputaran interaksi antara bangsa-bangsa sehingga, kemanapun ia berputar maka umat-umat atau bangsa lain akan mengikutinya. Kondisi ini dengan sendirinya akan membentuk peta politik internasional dan menempatkan umat-umat itu pada posisi relatifnya masing-masing. Sehingga, umat yang berpengaruh (bangkit) secara otomatis menjadi kiblat interaksi (atau menjadi negara dunia pertama), sampai pada titik yang paling tinggi ketika umat itu menjadi kiblat ideologis (mabda’i) dalam interaksi internasional itu. Sementara itu, disisi lain negara-negara dunia ketiga secara otomatis akan memilih kiblat interaksinya, tergantung dari adanya kesamaan tertentu atau sama sekali hanya mengikuti arus perputaran itu. Realitas semacam ini dapat dilihat ketika Khilafah Islamiyah mengendalikan interaksi antara bangsa sebelum keruntuhannya, Uni Sovyet dan Amerika Serikat masing-masing memimpin interaksi Blok Timur dan Blok Barat pada masa lalu. Atau setelah Blok Timur runtuh, maka bangsa-bangsa yang bangkit seperti AS, Inggris, Jerman, dll, masing-masing secara relatif menjadi pengendali interaksi internasional.Bagaimana dengan Indonesia? Jelas bahwa Indonesia belum bisa dikatakan sebagai negara yang bangkit. Jangankan berbicara tentang keinginan untuk menguasai dunia, mengatasi masalah dalam negeri saja sangat payah.

pertanyaan, bagaimana mencapai kebangkitan itu?.

Sebelumnya kita bisa melihat bahwa realitas yang menunjukkan sebuah struktur ekonomi yang tangguh, moralitas kolektif yang tinggi, tingkat keamanan yang stabil, sistem pemerintahan yang tangguh, tingkat pendidikan, sains dan teknologi yang tinggi, sistem pertahanan yang tinggi dan ditakuti, serta kemampuan berpengaruh dalam interaksi antar bangsa, semuanya merupakan ‘akibat’ atau hasil dari sebuah kebangkitan atau dalam bahasa islam disebut ‘hikmah’ dari penerapan sistem (ideologi)‘bukan sebab’. Buktinya walaupun ada negara yang maju dari sisi ekonomi dan Teknologi seperti Jepang, tetapi dia tidak bangkit karena masih mengekor dengan negara Ideologis Amerika. Begitu juga Arab Saudi yang dari sisi Moralitas begitu tinggi tapi tidak pula bangkit karena tidak berdaya menolak permintaan Amerika untuk menjadikan negaranya sebagai pangkalan untuk menyerang Irak (padahal di Irak banyak menjadi bermukim saudara mereka).Bedakan dengan Paris yang moralnya dikenal sangat rusak tapi meraka mampu berseberangan dengan keinginan Amerika. (Sehingga seruan hanya sebatas pada perbaikan Moral :Jujur, Jangan Korupsi, Sederhana, dsb tidak akan membuat kita bangkit)
Jadi sebenarnya yang menjadi penyebab atau pendorong utama kebangkitan umat adalah Ideologi (Mabda). Sebagai contoh dan juga sebagai alternatif yang ingin ditawarkan penulis adalah Islam. Islam adalah sebuah ideologi dikarenakan darinya terlahir sistem kehidupan. Ideologi (Mabda’) Islam yang dimaksud adalah mabda’ Islam yang memiliki kejelasan konsep/ fikroh/ pemikiran dan thoriqoh/metode operasional yang berfungsi untuk menerapkan fikroh dan menyebarluaskan mabda’ Islam itu ke seluruh penjuru dunia. Sebagaimana orang Amerika menerapkan fikroh kapitalisme mereka dalam bentuk sebuah negara AS sebagai thoriqoh untuk menerapkan dan meyebarluaskan ideologi mereka agar kapitalisme menjadi standar kehidupan bagi seluruh manusia. Sekaligus menjadi mimpi mereka untuk mengakhiri sejarah pencarian manusia atas ideologi kehidupan mereka. Tapi, tidak. Kita harus menghentikan pergerakan dan ekspansi ideologi mereka atas kita. Kita harus mengakhiri mereka dengan ideologi kita dan mengakhiri ideologi manusia dengan Islam sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kita capai kebangkitan Islam yang hakiki dengan menjadikan Islam sebagai azas kebangkitan kita, mengatur kehidupan kita dan melakukan interaksi luar negeri kita dibawah payung Khilafah Islamiyah. Sehingga Islam akan berputar, dan menjadi poros perutaran seluruh bangsa. Oleh sebab itu kita tidak harus menjadi plagiator ideologis dengan mencontoh kebangkitan eropa maupun sovyet untuk meraih kebangkitan Islam kita. Islam memiliki karakter yang khas dalam melakukan transformasi sosial menuju masyarakat Islam. Dengan terlebih dahulu memunculkan kesadaran ideologis (ini yang tidak ada sekarang) untuk menjadi Khairu Ummah (umat terbaik). Selanjutnya dari kesadaran itu terbentuk gerakan politik yang bergerak dengan karakter yang tegas untuk kemudian mentransformasikan kesadaran itu ditengah-tengah umat. Hingga akhirnya bersama-sama menyambut kebangkitan itu.

Melangkah mencapai kebangkitan itu tidak bisa dilakukan dengan menggunakan kaki yang sama ketika kaki itu terbukti telah puluhan tahun lumpuh dan menimbulkan efek keterpurukan yang menetap serta memperlama ketertidasan kita dibawah kungkungan kapitalisme. Lalu apa yang kita harapkan dari sekularisme yang telah hampir sembilan puluh tahun menindas dan membuat penjara sistem yang membuat kita tidak bebas menyuarakan Mabda’ islam kita. Untuk apa kita harus berkompromi dengan kapitalisme dengan segala derivat ideologinya seperti demokrasi, liberalisme dan lain-lain.
Indonesia harus kita terima sebagai negara yang kerdil yang sekedar mengaung saja harus meminta izin.Akar masalah yang dihadapi adalah karena kita bukanlah Negara yang ideologis tapi hanya pengekor ideologi kapitalisme, dan selama itu kita akan terus menjadi negara yang akan tetap dengan kehinaan.Kita pun saatnya sadar bahwa tidak mungkin merubah semua itu hanya dengan perbaikan parsial (mengganti orang, mengamandemen UU,dsb) tetapi harus dengan perubahan fundamental pada aspek asas/ pondasi yang membangun bangsa ini.Saatnya kapitalisme sekularisme dilengserkan dengan Islam sebagai penggantinya.Ketika mahasiswa bersama masyarakat berhasil melengserkan Suharto lewat reformasi, itu tidak terlepas karena mampu bersatu menjadikan Resim Suharto sebagai common enemy. Kita pun saat ini bisa mampu menorehkan sejarah emas yang jauh lebih gemilang ketika kita juga mampu bersatu, tapi Kapitalisme sebagai Common enemy, Islam sebagai Mainstream Ideologinya,dan Taghyir (revolusi) sebagai wajah gerakannya. Akhirnya memang, orang yang melupakan sejarah adalah orang yang akan kehilangan Masa Depan.


Nyanyian Itu Tak Lagi Merdu Untuk Didengar
Kusut Karena Irama Kebosanan
Cerita Itu Tak Lagi Menarik Untuk Disimak
Terjebak dalam Serial Panjang yang Menjemukan
Reformasi Telah GAGAL
Reformasi Terbukti Bukanlah jawaban
Reformasi Saatnya Dipetikan
Saatnya REVOLUSI yang Maju Kegelanggang
Sebuah REVOLUSI Pemikiran
REVOLUSI Paradigma Tanpa Kompromi
REVOLUSI Tanpa Darah
Back To Islam Paripurna.

*Mantan Sekretaris SENAT MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2004/2005* Baca Selengkapnya......

Hiduplah Para Mahasiswa Indonesiaku!!!!!!!!!!!!

MAHASISWA : PRIBADI, PEMIKIR, dan PERUBAH


Ditilik dari kebahasan arti kata mahasiswa ada 2 kata yang tersusun. Maha dan Siswa. Maha arti gampangnya besar. Siswa artinya murid atau orang yang belajar. Dari dua kata tersebut dapat dapat disimpulkan bahawa mahasiswa adalah sebuah pribadi, pemikir, dan perubah.



Pribadi

Orang memandang mahasiswa adalah orang serba bisa. Inilah pribadi unik dari mahasiswa. Dalam tataran kehidupan, mahasiswa berperan penting dalam segala aspek kehidupan. Pribadi mahasiswa menunjukkan keberadaan sebagai anggota masyarakat. Dalam sejarah membuktikan tumbangnya rezim Soeharto disebabkan desakan dari mahasiswa karena orde baru terbukti gagal karena adanya KKN yang merajalela. Tentu mahasiswa adalah garda paling depan untuk mengulingkan penguasa dzalim. Kalo boleh menyebut mahasiswa adalah superman. Dalam kehidupan bermasyarakat mahasiswa harus mencerminkan orang yang intelektual dan berakhlak mulia. Bukan malah hura-hura, kongkow, atau hanya mangkal di mall. Kehidupan seperti itu mencerminkan pribadi yang memikirkan kesenangan sementara. Mahasiswa saat ini terjangkit kehidupan hidonis (hura-hura) karena kebiasaan bergaul bebas. Dengan kebiasaan tersebut membelokkan tujuan mahasiswa sebagai generasi perubahan. Bagaimana seharusnya pribadi mahasiswa yang disebut agent of chage? Tentu mahasiswa yang beriman kepada Allah SWT. dan Rasullulah saw.


Pemikir

Mahasiswa tentunya didambakan oleh umat/masyarakat untuk memikirkan semua problematika kehidupan. Seperti; kemiskinan, kemerosotan moral, pendidikan mahal, pengangguran, pornografi-aksi, pergaulan bebas, kriminal dan ketinggalan sains-teknologi. Untuk menyeselaikan itu semua butuh pribadi pemikir yang cemerlang. Mahasiswalah yang memiliki potensi itu untuk memberian pemikiran-pemikiran dalam meyelesaikan setiap problematika. Tergantung bagaimana cara pandang mahasiswa untuk melahirkan pemikiran tersebut. Di kampus bermacam-macam cara pandang untuk menghasilkan ide-ide untuk di jadikan landasan berpikir. Ide-ide yang berkembang dikampus diantaranya Sosialisme, Sekulerisme, Liberalisme, Kapitalisme, Atheisme, dan Islam. Dengan banyaknya ide-ide yang berkembang di kampus wajar saja kalo terjadi pertarungan pemikiran. Ini menjadi perhatian Mahasiswa baru untuk menentukan langkah memilih ide yang dijadikan landasan untuk berpikir sebagai pondasi awal dalam pertumbuhan menjadi mahasiswa luar biasa. Cara pandang mahasiswa baru tergantung pilihan yang diambil dan bagaimana mahasiswa bergaul. Sebagai mahasiswa muslim tentunya bisa menentukan pilihan mana ide yang di jadikan landasan berpikirnya. Mahasiswa muslim yang beriman tentu akan melakukan perjuangan besar untuk menentukan ide apa yang dipakai sebagai landasan berpikirnya untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu semata-mata mengharap ridho Allah swt.


Perubah

Namun perjuangan tidaklah semudah yang dibayangkan. Mahasiswa akan sering menemui cara pandangan yang tidak sehat dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. Dalam kondisi ini mahasiswa baru harus pandai-pandai bergaul. Pergaulan di dunia kampus begitu luas bahkan kalo mahasiswa yang lemah iman bisa terjebak dalam kesesatan. Seorang mahasiswa yang berkepribadian islam tentu yakin bisa merubah hidupnya agar lebih baik. sebagaimana firman Allah swt. “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum sebelum kaum itu mau merubahnya sendiri.”
(QS.ar-Ra’d{13}:11). Baca Selengkapnya......

Danamon Simpan Pinjam Tidak Mematikan BPR

Danamon Simpan Pinjam Tidak Mematikan BPR

Senin, 30 Mei 2005 | 18:11 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:PT Bank Danamon Indonesia Tbk melalui Danamon Simpan Pinjam diyakini Bank Indonesia (BI) tidak akan mematikan usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR). “Sebetulnya tidak (mematikan BPR). Jika benar-benar yang dilakukan Bank Danamon mencari nasabah baru di daerah baru, itu artinya perluasan nasabah. Bukan mengambil nasabah BPR,” kata Deputi Gubernur BI Maulana Ibrahim, seusai rapat kerja dengan Komisi VI DPR, kemarin.

Ia menegaskan, ada perjanjian antara BPR dan Danamon Simpan Pinjam bahwa nasabah BPR tidak akan "diambil" Danamon. “Danamon harus mencari nasabah baru, termasuk karyawannya. Kalau tidak dilanggar, saya kira itu malah ekstensifikasi usaha mikro kecil dan menengah,” ujarnya.

Menurut Maulana, pengaturan pembukaan cabang oleh BPR yang maksimal satu per tahun, sedangkan bank umum bebas membuka cabang, bukan tanpa alasan. “Bukan berarti ada pembatasan. Tapi pembukaan cabang harus memenuhi beberapa kriteria. Supaya cabang baru menciptakan profit, bukan biaya tambahan,” katanya.

Ketua Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Soni Harsono mengeluhkan ekspansi Danamon Simpan Pinjam (DSP) di daerah bisa mematikan usaha BPR. “Peraturan BI tentang pembatasan pembukaan cabang BPR maksimal satu per tahun di PBI No. 6/2004, sedangkan bank umum tidak dibatasi, masih belum berubah,” ucapnya.

Dari awal pun, kata Soni, DSP sudah merekrut tenaga kerja dari BPR. “Secara tidak langsung, debitor BPR otomatis ikut ke DSP,” ucapnya.

Soni juga mengeluhkan Bank Mandiri yang menyalurkan kredit usaha mikronya. “Walau menyatakan bekerja sama dengan BPR, Bank Mandiri ternyata menawarkan kepada usaha mikro secara langsung dengan suku bunga sama. Misalnya pemberian kredit melalui BPR ataupun langsung dari Bank Mandiri dikenai bunga 13,5 persen. Ini sama saja BPR tidak terbantu,” paparnya.

Menanggapi hal itu, Direktur UKM dan Ritel Bank Mandiri Sasmita menegaskan, suku bunga Bank Mandiri dalam menyalurkan kredit mikro harus kompetitif. “Kalau tingkat bunga kita sendirian bagus atau jelek, tidak bakalan laku. Jadi harus kompetitif,” katanya. rr. ariyani Baca Selengkapnya......

6.26.2008

Blogger Buzz: Show off your favorite blogs with a Blog List

Blogger Buzz: Show off your favorite blogs with a Blog List Baca Selengkapnya......