Orang yang melupakan Sejarah adalah orang yang akan kehilangan masa depan. Mungkin ungkapan itu ada benarnya jika kita menyimak perjalanan hidup ini. Dimana kadang dihadapan kita muncul sebuah siklus peristiwa yang seakan merupakan refleksi masa lalu sehingga sejarah disini betul-betul baik untuk dijadikan panduan. Bahkan kalau kemarin kita membuat sebuah kesalahan maka pada kasus yang sama hari ini ,kisah kemarin itu bisa menjadi pelajaran berharga untuk melakukan perbaikan. Begitu pula tatkala kita berhadapan dengan realitas yang agak berbeda atau bahkan kontradiksi dengan sejarah, minimal bagi kita sejarah itu akan berguna sebagai bahan studi komparatif dengan masa kekinian untuk kemudian dibawa dalam konteks Quo Vadis. Walaupun begitu kita harus tetap memposisikan sejarah bukan sebagai subyek, dalam artian seperti apa wujud masa depan yang ingin diraih sangat tergantung dari keinginan, keseriusan dan gerak generasi yang sedang eksis dalam kehidupan kekinian.
Bagi Mahasiswa sendiri, beberapa peristiwa telah dijadikan sebagai bagian dari sejarah yang mungkin sulit untuk dilupakan. Entah karena peristiwa itu berkisah tentang cerita heroik para mahasiswa dalam geliat sebuah perjuangan, potret mahasiswa yang dijadikan tunggangan politik, sampai pada tragedi tragis yang menjadikan mahasiswa sebagai korban penindasan resim. Perjalanan yang dilalui mahasiswa bisa dikatakan sudah cukup panjang. Indikatornya bukan hanya rentang waktu yang telah memasuki hitungan abad (Sejak 1908) tetapi juga dari banyaknya babakan-babakan yang telah diperankan mahasiswa dalam kurung waktu tersebut. Setidaknya jika dipolarisasi, perjalanan itu bisa tersaji dalam wajah mahasiswa sebelum kemerdekaan dan wajah mahasiswa pasca kemerdekaan. Dalam tinjauan yang lebih detail lagi untuk pasca kemerdekaan,kita bisa melihat adanya beberapa fase seperti era gerakan mahasiswa 1966 pejuang orde baru,gerakan mahasiswa 1974 penggugat politik orde baru, gerakan mahasiswa 1978 penggugat kepemimpinan nasional, gerakan mahasiswa1998 pejuang reformasi, sampai pada pasca 1998 yang berorientasi untuk mengawal reformasi (Patah Tumbuh Hilang Berganti ; Adi Suryadi Culla). Dalam konteks tersebut, mahasiswa telah menjadi bagian dari sebuah kekuatan sosial dan kekuatan politik yang sangat kental dan memiliki pengaruh besar dalam mendesain bentuk dan arah bangsa ini. Mungkin ini pulalah yang menjadi prestise sehingga kalangan mahasiswa sampai hari ini masih tetap berteriak atau minimal dengan jaket almameternya berkata kepada masyarakat, aparat, dan pemerintah “Saya adalah Mahasiswa”.
Sekitar 8 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 21 Mei 1998.Mahasiswa telah mengukir sebuah momen bersejarah dalam kiprahnya, dimana dengan jargon Reformasi mampu melengserkan kekuatan Status Quo dibawah kepemimpinan Presiden Suharto. Mungkin sebelumnya tidak ada yang bisa membayangkan bahwa resim yang telah menancapkan pondasi kekuasaan yang sangat kuat lewat pengendalian birokrat dan militer ini bisa takluk ditangan mahasiswa. Tapi toh sejarah memang menunjukkan kenyataan seperti itu dan sekaligus menjustifikasi bahwa pengaruh mahasiswa dalam konstelasi politik memang cukup besar. (walaupun penulis sendiri tetap berpendapat, bahwa mahasiswa bukanlah pemegang kartu AS perubahan sosial)
Saya ingin mengajak kepada teman-teman semua untuk merenungi sisi lain dari sketsa perjuangan mahasiswa. Perenungan yang diharapkan mampu mengungkap kelemahan sehingga bisa diusahakan cara untuk menutupinya,mampu menilai kesalahannya sehingga bersama-sama kita memperbaikinya. Dalam benak saya, segala gerak-gerik dan aktivitas yang kita lakukan itu selalu diarahkan menuju sebuah kondisi yang ideal. Termasuk mengapa mahasiswa,juga masyarakat tidak pernah berhenti menginginkan perubahan, tentu karena belum adanya kondisi ideal yang secara faktual mampu dilihat dan dirasakan. Merujuk dari keinginan fitrawi kita sebagai manusia, kondisi ideal itu dalam wilayah yang bisa kita sepakati adalah sebuah tatanan yang mampu menghadirkan keamanan, keadilan dan kesejahteraan. Begitu pula dalam sebuah sistem sosial dan sistem politik (masyarakat dan bernegara) kita pun menginginkan kondisi yang ideal atau dalam kata lain kita ingin menjadi umat yang bangkit, maju, terdepan, bahkan menjadi pemimpin (leader). Dalam garis Sunnahtullah, akan senantiasa ditemukan ada orang baik, ada orang jahat.Ada orang yang suka merusak namun ada juga yang selalu berusaha memperbaiki. Begitu pula masyarakat, ada masyarakat yang mendominasi dan ada juga yang inferior.Ada masyarakat yang maju, ada juga yang mundur. Ada yang bangkit tetapi juga ada yang tidak bangkit.Fenomena ini tentu menjadi realitas yang tidak bisa kita tolak. Masyarakat misalnya, ketika mampu memposisikan diri sebagai masyarakat yang bangkit maka otomatis dijadikan patron / kiblat bagi masyarakat yang lain. Contohnya, Islam sebagai sebuah pandangan hidup yang menyeluruh, pernah mengatur kehidupan masyarakat sehingga mampu mengantarkannya kepuncak kejayaan. Tatanan masyarakat Islam yang dibangun mampu memancarkan cahaya kedamaian dan keadilan ditengah-tengah masyarakatnya. Masyarakat Islam (Khilafah Islam) walaupun mendominasi tetapi tidak menghancurkan. Walaupun menjadi pemimpin, tetapi tidak arogan dan walaupun senantiasa menyebarkan ide-idenya, tetapi rahmat yang dibawanya selalu mendapat sambutan yang hangat. Maka tidak heran, selama kurang lebih 14 abad dunia diwarnai oleh peradaban Islam, dengan menorehkan tinta emas bagi kehidupan. Lain halnya dengan saat ini, dimana kiblat masyarakat telah beralih ke penjuru yang lain yakni ke arah peradaban barat (kapitalisme). Kendali kehidupan dunia didominasi oleh barat sehingga warna dunia pun ditata oleh kebudayaan dan peradaban barat. Sebagaimana Islam sebelumnya, Barat pun mendominasi tetapi bedanya barat adalah penghancur bagi yang lemah. Barat juga menjadi pemimpin tetapi bedanya barat bukanlah pemimpin yang baik.
Pertanyaannya sekarang, diantara dua pilihan antara menjadi umat yang bangkit atau menjadi umat yang inferior, mana yang kita inginkan? Memilih menjadi umat yang bangkit artinya kita ingin menjadi umat yang berkuasa, umat yang terdepan, dan pemimpin, ataukah kita hanya ingin menjadi umat yang inferior yang artinya terbelakang, pengekor, tidak punya harga diri, dan harus siap menjadi obyek pembodohan. Pertanyaan ini perlu dijawab sebagai sebuah Kondisi yang ideal yang kita inginkan untuk kemudian menetapkan langkah-langkah yang harus dilalui. Begitu pula bagi mahasiswa dengan berbekal ruh perubahan yang dimiliki diharapkan nantinya bisa menetapkan mainstrem pergerakannya supaya tidak terkesan asal-asalan dan apa adanya.
Kembali pada sketsa pergerakan mahasiswa di Indonesia dengan cukup mengambil sampel era Reformasi 1998, patut juga kita bertanya bahwa kondisi ideal seperti itukah yang menjadi cita-cita tertinggi kita? Sangat disayangkan, karena menurut saya cita-cita itu sangatlah dangkal!Sepertinya kita tidak pernah mau belajar dari sejarah dimana setelah sekian lama harapan ideal kita belum juga terealiasi. Pernah muncul sebuah harapan tatkala kita berhasil meruntuhkan resim misalnya, menggagalkan kebijakan diskriminatif atau bahkan mengusir penjajah, tapi itu tidak bertahan lama hingga permasalahan yang lebih kompleks justru kembali muncul. Sangat wajar karena pola yang kita gunakan selama ini sama saja, tidak berangkat dari sebuah pencermatan yang mendalam tentang formulasi seperti apa yang seharusnya dimunculkan, ataukah yang sangat memprihatinkan ketika bekal yang kita punya hanyalah semangat ‘tok’.
Menyibak hitamnya kesadaran kita untuk memaknai sebuah ‘kebangkitan’
Terkait juga dengan penetapan tanggal 20 Mei sebagai hari kebangkitan nasional, Bagaimana model kebangkitan hakiki yang seharusnya kita usung? Kata kebangkitan adalah sebuah kata indah yang seringkali diucapkan untuk memaknai sebuah kondisi baru yang lebih baik. Sebuah kondisi masa depan yang lebih progresif, tetapi kadang-kadang hanya menjadi sebuah khayalan atau utopi baru bagi orang-orang yang suka berkhayal. Kita katakan demikian karena kesadaran orang-orang itu tidak lagi mampu menjangkau arti sebuah kebangkitan. Kebangkitan dalam pemaknaan mereka hanya mampu dimaknai sebagai sebuah semangat untuk berubah sampai pada titik dimana semangat itu redup kemudian mati. Lalu sudut-sudut negeri ini kian gelap, sampai pada saat kegelapan itu makin larut, suara-suara kebangkitan itu menyendiri, seperti sepinya lolongan serigala yang memandang terangnya bulan dari kejauhan.
Sebuah umat yang bangkit cenderung menjadi berpengaruh dalam percaturan/interaksinya dengan umat-umat atau bangsa-bangsa yang lain. Bahkan menjadi poros perputaran interaksi antara bangsa-bangsa sehingga, kemanapun ia berputar maka umat-umat atau bangsa lain akan mengikutinya. Kondisi ini dengan sendirinya akan membentuk peta politik internasional dan menempatkan umat-umat itu pada posisi relatifnya masing-masing. Sehingga, umat yang berpengaruh (bangkit) secara otomatis menjadi kiblat interaksi (atau menjadi negara dunia pertama), sampai pada titik yang paling tinggi ketika umat itu menjadi kiblat ideologis (mabda’i) dalam interaksi internasional itu. Sementara itu, disisi lain negara-negara dunia ketiga secara otomatis akan memilih kiblat interaksinya, tergantung dari adanya kesamaan tertentu atau sama sekali hanya mengikuti arus perputaran itu. Realitas semacam ini dapat dilihat ketika Khilafah Islamiyah mengendalikan interaksi antara bangsa sebelum keruntuhannya, Uni Sovyet dan Amerika Serikat masing-masing memimpin interaksi Blok Timur dan Blok Barat pada masa lalu. Atau setelah Blok Timur runtuh, maka bangsa-bangsa yang bangkit seperti AS, Inggris, Jerman, dll, masing-masing secara relatif menjadi pengendali interaksi internasional.Bagaimana dengan Indonesia? Jelas bahwa Indonesia belum bisa dikatakan sebagai negara yang bangkit. Jangankan berbicara tentang keinginan untuk menguasai dunia, mengatasi masalah dalam negeri saja sangat payah.
pertanyaan, bagaimana mencapai kebangkitan itu?.
Sebelumnya kita bisa melihat bahwa realitas yang menunjukkan sebuah struktur ekonomi yang tangguh, moralitas kolektif yang tinggi, tingkat keamanan yang stabil, sistem pemerintahan yang tangguh, tingkat pendidikan, sains dan teknologi yang tinggi, sistem pertahanan yang tinggi dan ditakuti, serta kemampuan berpengaruh dalam interaksi antar bangsa, semuanya merupakan ‘akibat’ atau hasil dari sebuah kebangkitan atau dalam bahasa islam disebut ‘hikmah’ dari penerapan sistem (ideologi)‘bukan sebab’. Buktinya walaupun ada negara yang maju dari sisi ekonomi dan Teknologi seperti Jepang, tetapi dia tidak bangkit karena masih mengekor dengan negara Ideologis Amerika. Begitu juga Arab Saudi yang dari sisi Moralitas begitu tinggi tapi tidak pula bangkit karena tidak berdaya menolak permintaan Amerika untuk menjadikan negaranya sebagai pangkalan untuk menyerang Irak (padahal di Irak banyak menjadi bermukim saudara mereka).Bedakan dengan Paris yang moralnya dikenal sangat rusak tapi meraka mampu berseberangan dengan keinginan Amerika. (Sehingga seruan hanya sebatas pada perbaikan Moral :Jujur, Jangan Korupsi, Sederhana, dsb tidak akan membuat kita bangkit)
Jadi sebenarnya yang menjadi penyebab atau pendorong utama kebangkitan umat adalah Ideologi (Mabda). Sebagai contoh dan juga sebagai alternatif yang ingin ditawarkan penulis adalah Islam. Islam adalah sebuah ideologi dikarenakan darinya terlahir sistem kehidupan. Ideologi (Mabda’) Islam yang dimaksud adalah mabda’ Islam yang memiliki kejelasan konsep/ fikroh/ pemikiran dan thoriqoh/metode operasional yang berfungsi untuk menerapkan fikroh dan menyebarluaskan mabda’ Islam itu ke seluruh penjuru dunia. Sebagaimana orang Amerika menerapkan fikroh kapitalisme mereka dalam bentuk sebuah negara AS sebagai thoriqoh untuk menerapkan dan meyebarluaskan ideologi mereka agar kapitalisme menjadi standar kehidupan bagi seluruh manusia. Sekaligus menjadi mimpi mereka untuk mengakhiri sejarah pencarian manusia atas ideologi kehidupan mereka. Tapi, tidak. Kita harus menghentikan pergerakan dan ekspansi ideologi mereka atas kita. Kita harus mengakhiri mereka dengan ideologi kita dan mengakhiri ideologi manusia dengan Islam sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kita capai kebangkitan Islam yang hakiki dengan menjadikan Islam sebagai azas kebangkitan kita, mengatur kehidupan kita dan melakukan interaksi luar negeri kita dibawah payung Khilafah Islamiyah. Sehingga Islam akan berputar, dan menjadi poros perutaran seluruh bangsa. Oleh sebab itu kita tidak harus menjadi plagiator ideologis dengan mencontoh kebangkitan eropa maupun sovyet untuk meraih kebangkitan Islam kita. Islam memiliki karakter yang khas dalam melakukan transformasi sosial menuju masyarakat Islam. Dengan terlebih dahulu memunculkan kesadaran ideologis (ini yang tidak ada sekarang) untuk menjadi Khairu Ummah (umat terbaik). Selanjutnya dari kesadaran itu terbentuk gerakan politik yang bergerak dengan karakter yang tegas untuk kemudian mentransformasikan kesadaran itu ditengah-tengah umat. Hingga akhirnya bersama-sama menyambut kebangkitan itu.
Melangkah mencapai kebangkitan itu tidak bisa dilakukan dengan menggunakan kaki yang sama ketika kaki itu terbukti telah puluhan tahun lumpuh dan menimbulkan efek keterpurukan yang menetap serta memperlama ketertidasan kita dibawah kungkungan kapitalisme. Lalu apa yang kita harapkan dari sekularisme yang telah hampir sembilan puluh tahun menindas dan membuat penjara sistem yang membuat kita tidak bebas menyuarakan Mabda’ islam kita. Untuk apa kita harus berkompromi dengan kapitalisme dengan segala derivat ideologinya seperti demokrasi, liberalisme dan lain-lain.
Indonesia harus kita terima sebagai negara yang kerdil yang sekedar mengaung saja harus meminta izin.Akar masalah yang dihadapi adalah karena kita bukanlah Negara yang ideologis tapi hanya pengekor ideologi kapitalisme, dan selama itu kita akan terus menjadi negara yang akan tetap dengan kehinaan.Kita pun saatnya sadar bahwa tidak mungkin merubah semua itu hanya dengan perbaikan parsial (mengganti orang, mengamandemen UU,dsb) tetapi harus dengan perubahan fundamental pada aspek asas/ pondasi yang membangun bangsa ini.Saatnya kapitalisme sekularisme dilengserkan dengan Islam sebagai penggantinya.Ketika mahasiswa bersama masyarakat berhasil melengserkan Suharto lewat reformasi, itu tidak terlepas karena mampu bersatu menjadikan Resim Suharto sebagai common enemy. Kita pun saat ini bisa mampu menorehkan sejarah emas yang jauh lebih gemilang ketika kita juga mampu bersatu, tapi Kapitalisme sebagai Common enemy, Islam sebagai Mainstream Ideologinya,dan Taghyir (revolusi) sebagai wajah gerakannya. Akhirnya memang, orang yang melupakan sejarah adalah orang yang akan kehilangan Masa Depan.
Nyanyian Itu Tak Lagi Merdu Untuk Didengar
Kusut Karena Irama Kebosanan
Cerita Itu Tak Lagi Menarik Untuk Disimak
Terjebak dalam Serial Panjang yang Menjemukan
Reformasi Telah GAGAL
Reformasi Terbukti Bukanlah jawaban
Reformasi Saatnya Dipetikan
Saatnya REVOLUSI yang Maju Kegelanggang
Sebuah REVOLUSI Pemikiran
REVOLUSI Paradigma Tanpa Kompromi
REVOLUSI Tanpa Darah
Back To Islam Paripurna.
*Mantan Sekretaris SENAT MAHASISWA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO 2004/2005*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar